Buruh Perempuan di Perkebunan Karet Sumatra Timur 1900-1940

Buruh Perempuan di Perkebunan Karet Sumatra Timur 1900-1940

Pada masa pembukaan perkebunan, perempuan sama sekali tidak disebut sebagai sumber tenaga kerja. Jumlah wanita sangat kecil sekali di banding jumlah buruh laki-laki. Awal perekrutan tenaga buruh perempuan dilakukan oleh perusahaan tembakau Deli Maatschappy pada 1885 dengan merekrut sebanyak 150 orang perempuan daerah Begelan di Jawa Tengah. Perekrutan buruh perempuan dari jawa dilakukan oleh para agen-agen yang ada di Jawa biasa dikenal dengan sebutan werek Deli, yang dilakukan secara pemaksaan, penipuan, dan penculikan sehinga ketika mau di berangkatkan ke Deli mereka membuat ribut di kapal. Perekrutan buruh perempuan Cina dilakukan oleh para laukeh (buruh-buruh lama) yang didatangkan dari Straits Settiement di Malaya.
Buruh perempuan yang bekerja diperkebunan diikat dengan sistem kontrak kerja selama tiga tahun dengan biaya transportasi dan tempat tinggal di tanggung oleh pengusaha perkebunan. Bagi buruh perempuan yang telah menandatangani kontrak, diikat dengan sistem kontrak kerja, yang dikenal Ordonansi Kuli, sanksi pidana, baik bagi buruh perempuan maupun buruh laki-laki yang melanggar dikenal dengan Poenale Santrie. Sistem kerja buruh perempuan dibedakan secara struktur berdasarkan ras dan etnis untuk mempertahankan kontrol penguasa. Secara struktur pembagian kerja dibedakan dalam 4 golongan: pertama administrator yaitu dari orang Eropa, kedua, pegawai staf terdiri atas para assisten, dokter orang Eropa, ketiga, pegawai nonstaf terdiri atas pribumi, perawat pribumi, karyawan perkebuna, orang Cina atau dari etnis Jawa, Cina, Keling, dan Batak. Penenmpatan dan pembagian pekerjaan buruh perempuan ditentukan oleh pihak perkebunan, yang buruh perempuan bertugas di bagian pembibitan, penanaman, pemeliharaan, menderes, dan di bagian pabrik.
Setiap kelompok buruh wanita terdiri dari 12 orang dan di awasi ketua kelompok, dan beberapa kelompok diawasi satu mandor perempuan. Jam kerja sudah diatur dalam Koeli Ordonantie, yang jam kerja buruh perempuan dan laki-laki adalah 10 jam setiap hari di maulai dari jam 05.30 sampai 17.30 dengan waktu istirhat pada pukul 11.00 samai 12.00. sistem pembayaran upah kerja buruh perempuan dan laki-laki di perkebunan  karet ditentukan oleh AVROS (Algemene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra) serta DPV (deli Planter Vereniging) dengan tujuan keseragaman upah kerja. Pembayaran upah buruh wanita terdiri atas uang tunai pada setiap tanggal 1 awal bulan dan kupon kertas untuk ditukar dengan beras setiap 2 kali dalam seminggu. Besarnya upah yang diterima buruh perempuan antara 20-40 sen/hari dan pada perpanjangan kontrak antara 25-45 sen/hari dan tunjangan beras sebanyak 9 liter setipa 14 hari.
Karena upah yang diberikan jauh dari kesepakatan pengawas buruh dan juga dengan perumahan, makanan, dan kesehatan para buruh perempuan tidak memenuhi kesehatan sehingga banyak yang terserang penyakit malaria,disentri, cacingan. Banyaknya kekerasan, kematian, hukuman seperti cambuk rotan dan penyiksaan terhadap kemaluan perempuan. Buruh perempuan yang cantik dan muda bekerja sebagai pembantu dari orang Eropa yang pekerjaannya merangkap sebagai pemuas seks tuanya. Jika pembantu perempuan tidak mau melayani tuanya maka pemabtu perempuan akan kenak hukum dan jika mau melayani tuanya pembantu wanita akan di angkat menjadi nyai yang akan menjadi mediator. Bagi seorang buruh perempuan yang mau membeli perhiasan dan selembar kain panjang harus menabung dulu karena rendahnya upah yang di terima atau ada juga yang melacurkan diri kepada tuan kebun dan buruh laki-laki cina yang dapat membayar dengan mahal. Ada beberapa faktor yang menyebabkan prostitusi yaitu faktor ekonomi, yaitu rendahnya upah yang di dapat buruh perempuan sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ada sebagian perempuan yang terpaksa menjalankan prostitusi. Kedua, wabah prostitusi memang sengaja diciptakan oleh para tuan-tuan kebun, supaya buruh laki-laki tidak pergi dari perkebunan.
Pembahasan:
Posisi wanita dalam Buruh Perempuan di Perkebunan Karet Sumatra Timur 1900-1940 adalah sebagai seorang pekerja dalam perkebunan, pabrik dan juga pemabantu rumah tangga dari orang eropa. Banyak buruh perempuan yang mendapatkan siksaan dari para pengawas dengan berbagai alasan dan juga fasilitas yang di berikan kepada buruh perempuan yang tidak layak sehingga banyak buruh yang menderita penyakit seperti malaria, disentri dan cacingan. Perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga para perempuan juga harus melayani kebutuhan seks tuanya jika tidak mau mereka akan mendapatkan hukuman, perempuan yang mau memenuhi kebutuhan seks tuanya di angkat menjadi Nyai dan menjadi mediator sehingga membantu pekerjaan tuanya untuk menghukum perempuan yang tidak mau memenuhi kebutuhan seks tuanya. Perempuan yang diangkat menjadi Nyai kehidupanya menjadi terjamin. Bagi buruh perempuan yang bekerja di perkebunan dan pabrik karena rendahnya upah yang di dapatkan membuat ada sebagian dari perempuan yang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melakukan prostitusi dengan menawarkan diri mereka kepada tuan kebun dan buruh laki-laki Cina yang mau membayar mahal.
Dalam masa dewasa ini perempuan sudah menjalani kesetaraan dalam berbagai bidang dengan laki-laki. Perempuan bisa memperoleh pengakuan status tertinggi dari masyarakat berbeda dengan zaman dahulu bahwa perempuan hanya di bawah bayang-bayang laki-laki, tetapi sekarang perempuan bisa setara dengan laki-laki. Perempuan bisa mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, pekerjaan yang bagus seperti direktur dan juga bisa juga menjadi seorang Presiden, sehingga pada zaman sekarang wanita sudah tidak menjalani kehidupan seperti zaman dahulu karena adanya emansipansi wanita  sehingga wanita bisa bersekolah dan bekerja sesuai dengan bidang keahliaanya.


Sumber Refrensi:
Sosrasno, Nani Soewondo. 1955. Kedudukan Wanita dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Timur Mas N.V.
Subandio, Maria Ulfah. 1977. Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Univesrsity Press.

Soedjono. 1977. Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam Masyarakat. Bandung: Karya Nusantara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HISTORIOAGRAFI EROPA PADA ABAD PERTENGAHAN

Naturalisme, Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Eksistensialisme

PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU