PERANAN DUKUH BIBIS BANTUL YOGYAKARTA DALAM PERANG KEMERDEKAAN 1948-1949

PERANAN DUKUH BIBIS BANTUL YOGYAKARTA DALAM PERANG KEMERDEKAAN 1948-1949
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Lisan
Dosen Pengampu: Terry Irrenewaty, M.Hum.


 










Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
1.      Didin Harianto                   (09406244001)
2.      Lidya Dwi Jayanti              (09406244030)
3.      Windya Ayu Maryuti        (09406244033)
4.      Arif Purnomo Aji               (09406244046)



JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012




KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa  memberikan rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada kami, sehingga kita dapat menyelesiakan tugas Mata Kuliah Sejarah Lisan yang berjudul Peranan Dukuh Bibis Bantul Yogyakarta Dalam Perang Kemerdekaan 1948-1949.
Dalam penyusunan makalah ini, kami tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu tidak berlebihan kiranya apabila kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penyusunan makalah ini. Kami tidak dapat memberikan yang pantas kecuali dengan permohonan kepada Allah SWT semoga budi baiknya mendapat imbalan yang lebih Amin.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif guna perbaikan pada makalah selanjutnya sangat kami harapkan.




                                                                                                Yogyakarta, 8 Mei 2012

                                                                                                Penyusun







BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Proklamasi kemerdekaan menuntut tugas berat untuk mempertahankan kemerdekaan. Upaya mempertahankan kemerdekaan dilakukan dengan cara militer dan perundingan. Melalui perjuangan bersenjata, bangsa Indonesia menunjukkan kesungguhannya untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya. Belanda masih ingin menguasai Indonesia karena merasa bahwa Indonesia adalah miliknya. Sehingga dia melakukan berbagai upaya guna mendapatkan kembali Indonesia, termasuk melalui perlawanan dan meja perundingan. Sejak 10 Februari 1946 telah terjadi perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Indonesia kemudian disudutkan dengan berbagai perundingan yang selalu diingkari oleh pihak Belanda sendiri. Serangan-serangan militer Belanda terhadap Indonesiapun masih gencar dilakukan Belanda dengan mengabaikan perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati.
Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada saat masuknya sekutu yang diboncengi oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang. Agresi militer Belanda terjadi sampai dua kali yaitu agresi militer Belanda I yang mengingkari perundingan linggarjati dan agresi militer Belanda II yang melanggar perundingan Renville. Saat itu Belanda melakukan serangan terhadap kota Yogyakarta. Dalam waktu singkat, Yogyakarta yang ketika itu sebagai ibu kota RI dapat dikuasai.
Berbagai pertempuran yang terjadi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia salah satunya adalah Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Pada tanggal 19 Desember 1948 merupakan hari pertama dilaksanakannya perang gerilya secara total. Sejak saat itu Letkol Soeharto yang bermarkas di dukuh Bibis desa Bangunjiwo sampai dengan 8 April 1949 memegang peranan penting untuk melakukan serangan umum 1 Maret 1949. Serangan yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan kepada Belanda saat itu dilakukan guna memperkokoh diplomasi dan simbol ekstistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di mata internasional. Pada serangan ini Yogyakarta berhasil direbut kembali.
Berdasarkan uraian di atas, penyusun tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai Peranan Desa Bibis Bantul Yogyakarta dalam Perang Kemerdekaan 1948-1949. Pentingnya penelitian ini dilakukan karena penyusun berpendapat bahwa desa Bibis, Bantul, Yogyakarta merupakan salah satu tempat yang tidak banyak dikenal oleh masyarakat, padahal tempat ini berperan penting dalam perang kemerdekaan Indonesia.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan dibahas yaitu:
1.         Apa latar belakang terjadinya Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta?
2.         Bagaimana peranan Dukuh Bibis Bantul Yogyakarta dalam Perang Kemerdekaan 1948-1949?
3.         Bagaimana akhir dari perang kemerdekaan di Yogyakarta dan pengaruhnya bagi dukuh Bibis, Bantul, Yogyakarta?
C.      Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu selain untuk memenuhi tugas mata kuliah sejarah lisan juga untuk mengetahui:
1.         Latar belakang terjadinya Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
2.         Peranan Dukuh Bibis Bantul Yogyakarta dalam Perang Kemerdekaan 1948-1949.
3.         Akhir dari perang kemerdekaan di Yogyakarta dan pengaruhnya bagi dukuh Bibis, Bantul, Yogyakarta.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Latar Belakang Terjadinya Perang Kemerdekaan di Bantul Yogyakarta
Pada tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30 menyatakan kepada RI dan KTN bahwa Belanda mulai tanggal 19 Desember 1948 pukul 00.00 waktu Jakarta (WIB) tidak lagi terikat pada perjanjian Renville. Pagi itu, Minggu tanggal 19 Desember 1948 kehidupan kota Yogyakarta tampak normal. Mereka melakukan rutinitas kegiatan sehari-hari, meskipun suasana politik memanas. Suasana di pangkalan udara Maguwo masih sepi dan tenang. Beberapa orang anggota AURI tampak sedang melakukan tugas jaga, tetapi sebagian besar masih tidur. Karena pada malam itu mereka mempersiapkan keberangkatan anggota Angkatan Perang yang akan pergi ke Sumatra.[1] Banyak pula anggota tentara yang telah pergi ke luar kota untuk latihan militer. Kira-kira pukul 05.30 tanggal 19 Desember 1948 terdengar bunyi pesawat terbang diatas kota Yogyakarta. Penduduk mengira itu adalah pesawat AURI yang sedang mengadakan latihan perang, sebab selama beberapa hari memang RRI menyiarkan berita bahwa Angkatan Perang Republik akan mengadakan latihan perang. Namun beberapa tempat di Yogyakarta sudah dihujani bom oleh pesawat pembom Mitchell yang diikuti dengan penerjunan pasukan Belanda di Maguwo.
Perlawanan yang diberikan petugas yang menjaga lapangan terbang dibawah pimpinan Perwira piket Kadet Udara Kasmiran tidak dapat menahan serbuan tentara Belanda, sehingga Maguwo dapat dikuasai. Dengan dikuasai Maguwo, Belanda dapat membuka jembatan udara Surakarta, Yogyakarta untuk menurunkan alat perangnya guna merebut kota Yogyakarta. Setelah berhasil menguasai Maguwo, tentara Belanda segera bergerak menuju Yogyakarta, sementara itu pihak RI berusaha memperlambat gerak   maju     Belanda,    hal ini digunakan untuk memberi kesempatan pada pasukan yang ada didalam kota untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan sesuatu yaitu membumi hanguskan tempat-tempat  strategis agar tidak digunakan untuk persembunyian musuh. Cara lain yang ditempuh dengan menebang pohon yang ditumbangkan ke jalan raya, merusak jalan.
Meskipun telah diadakan gerakan penghalang  musuh, TNI tidak dapat menahan tentara Belanda, sehingga pukul 15.30 Yogyakarta sudah diduduki sepenuhnya. Dimata Belanda RI memang sudah tidak ada, tetapi TNI masih utuh, namun Belanda tidak mengetahui hal ini. Pada hari-hari awal pendudukan Belanda, situasi memang kelihatan tenang. Menurut Belanda karena para pemimpin RI yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, sudah ditawan, maka praktis pemerintahan RI tidak dapat dijalankan. Belanda terlalu lengah dengan kemenangan, sehingga tidak waspada. Sementara itu, Ibukota RI di Yogyakarta diserbu Belanda dengan aksi militer Belanda II, terjadilah konflik yang melibatkan pimpinan pemerintahan sipil dan militer. Seperti dikisahkan oleh Sri Sultan HB IX sebagai berikut:
“Sekitar tujuh bulan sebelum tentara menyerbu Yogyakarta, saya menghadiri pertemuan dengan Soedirman, Hatta dan Soekarno pada pertemuan itu di putuskan bahwa pemerintahan akan meninggalkan kota jika Belanda melancarkan serangan……..beberapa hari sebelum Yogyakarta di serbu, pihak militer, setelah melihat seretnya perundingan, sampai pada kesimpulan bahwa Belanda pasti akan menyerbu dalam waktu dekat. Karena itulah maka rencana yang telah disusun mulai dijalankan, salah satu dari rencana itu adalah melakukan perang gerilya…..pada tanggal 19 Desember 1948, yakni hari yang dipakai Belanda untuk menyerang wilayah Republik…….pagi itu juga dengan susah payah Jendral Soedirman datang ke gedung negara untuk mengajak Bung Karno malahan menolak, dan kemudiaan membujuk Soedirman agar beristirahat didalam kota biar nanti dirawat oleh dokter tentara Belanda yang segera masuk kota. Tentu saja Soedirman menolak dirawat dokter Belanda dan dengan segera berangkat meninggalkan kota Yogyakarta…..”
Sejak saat itulah hubungan antara sipil dan militer tidak harmonis. Akan tetapi permasalahan-permasalahan yang timbul pada waktu itupun dapat diselesaikan dengan arif dan bijaksana. Adanya sikap mau mengalah demi masa depan Negara ini yang ditunjukkan diantara para pemimpin itu, kiranya dapat dijadikan pelajaran yang berharga bagi generasi mendatang.
B.       Peranan Desa Bibis Bantul Yogyakarta dalam Perang Kemerdekaan 1948-1949
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II Belanda ke Yogyakarta (Adisucipto). Rakyat kota kemudian mengungsi ke desa-desa. Pada bulan Januari  di desa Bibis Wetan didatangi TNI yang melarikan diri dari kota. Terdapat satu kompi, dua seksi yang diantaranya terdapat Letnan Sukoco, Samiarjo, sebagai anak buah dari Batalyon 1 pimpinan Mayor Sarjono. Wilayahnya pelarian ada di desa Bibis wetan sampai Sewon. Tentara yang datang terdiri dari segala penjuru, ada pula yang dari Jawa Barat.
Letnan Kolonel Soeharto bersama Sri Sultan Hamengkubuwono IX bekerja sama dengan membuat sandi atau tempat untuk mencari informasi yaitu dibuatnya rumah makan Tuas yang berada di Gemolan, Jeroan Benteng. Disana terdapat banyak pedagang yang menggunakan cemplon yang di dalamnya terdapat surat atau informasi berisi keadaan di dalam dan di luar kota yang diberikan kepada Pak harto. Bahkan dulu saat direbut kembali Yogyakarta di rumah makan itu ada sebuah kursi untuk tempat duduk Sultan yang dinamakan kursi keramat.[2]
Pada tanggal 16 Februari Soeharto pergi ke kota, ke sebelah selatan yaitu di sebuah dusun dekat kali opak (Segoroyoso) di rumah bapak lurah Dongkol. Malam harinya beliau merencanakan untuk melakukan serangan umum. Namun, ketahuan oleh mata-mata Belanda. Akhirnya rencana itu batal.  Soeharto pindah ke dukuh Bibis untuk meneruskan rencananya mengatur jalannya serangan umum 1 Maret 1949. Terdapat perbukitan yang membanjar di sebelah selatan dukuh bibis sudah banyak tentara Indonesia yang siap sedia dengan senjatanya. Jalan yang akan menuju dukuh bibis pun sudah dipenuhi oleh tentara. Pak harto membuat markas di Bibis dan mengadakan kontak dengan Rumah Makan Tuas. Gua yang dulu pernah menjadi tempat bersembunyi pangeran diponegoro beserta prajuritnya di dukuh bibis itu pun menjadi tempat persembunyian para tentara Indonesia, namun karena ketahuan Belanda maka Gua itu dinamakan Gua Urung, kemudian tentara Indonesia pindah ke gua Selarong.
Menurut bapak Dullah Prayitno,  keadaan Indonesia saat dijajah Jepang benar-benar sengsara sekali, kelaparan berada dimana-mana. Karena sakin laparnya orang-orang Indonesia menjadi ganas dan lebih baik mati untuk berperang dan berjuang bersama tentara daripada harus mati kelaparan. Pagi harinya TNI pergi ke Klangon, sebagian lagi pergi ke kota utara untuk mempersiapkan melakukan serangan. Maka setelah berbagai persiapan dilakukan, maka dilancarkan serangan umum 1 Maret 1949. Serangan berhasil dilakukan dalam waktu enam jam di Yogyakarta, Jogja berhasil dikuasai kembali yang sempat menjadi ibukota Indonesia.
Setelah kurang lebih satu bulan di kota pak Harto kembali ke desa Bibis lagi. Beliau membuat markas di desa ini sampai dengan ke jalan monjali. Pada tanggal 9 April sampai 28 Juni 1949 beliau berangkat dari sini. Sebelum serangan gerilya berlangsung, terdapat kurir yang datang yang mengatakan bahwa Belanda meminta bantuan dari Solo ke Magelang. Lalu pasukan TNI dengan sergap masuk ke keraton. Di dalam kota itu dipimpin oleh Kapten Marsudi.
PBB yang mengetahui keadaan Indonesia menjadi mengerti bahwa masih ada pemerintahan di Indonesia karena perlawanan yang dilakukan kepada Belanda. Dunia Internasional mengakui bahwa Indonesia masih punya kekuatan yang besar. Seminggu sekali kira-kira pukul lima sore, Soeharto selalu berkunjung ke Sultan didampingi oleh Kopral Basar, Sarimin, Supeno, Sugiarto (tidak tetap). Beliau mengunjungi Sultan dengan berjalan kaki.
Pasukan Belanda satu kompi bermarkas di Bantul. Rencananya oleh para pengawal tentara akan diserang, namun Soeharto melarang karena dikhawatirkan akan merusak dusun ini. Jika ada serangan, TNI meminta kurir ke weakers (wilayah bagian TNI). Pada tanggal 28 Juni terjadi kesepakatan antara Sultan dengan KTN untuk menyerahkan Yogyakarta kembali.
Desa ini dianggap aman untuk melarikan diri karena medannya yang strategis. Di depannya terdapat tanah datar atau sawah, jika ada apa-apa prajurit lari ke belakang (daerah bukit). Setelah Jogja kembali Soeharto yang akan berangkat ke kota Gading (alun-alun kecil) untuk menerima penyerahan dari KTN dibuatkan bekal oleh orang tua pak Sukardi. Yang ikut berangkat kesana yaitu:
1.         Letkol Soeharto sebagai ketua
2.         Mayor Pranoto Rekso Samudro sebagai wakil
3.         Ajudan Let. 1 Sugiono
4.         Ajudan Let. KG Dion
5.         Ajudan Let. 1 Marzuki
6.         Ajudan Let. Denmlati
7.         Sersan Mayor Soeharto
8.         Sersan Mayor Jumaeri
9.         Kopral Sudarso
10.     Kopral Sugandirman
11.     Pesuruhnya bernama kopling, bukan dari TNI. Bertugas untuk mencari informasi di kota.
Setelah selesai serangan umum kemudian penyerahan Jogja kembali, pak Harto beserta anak buahnya menjadi komandan RI 13, markas pertama di perempatan Pamungkas (sekarang menjadi museum TNI AD). Beliau mengadakan perayaan, berterima kasih pada dusun Bibis dengan mengadakan sykukuran mendatangkan penari wayang orang dari Kraton dan membagikan pakaian pada masyarakat sini. Ada pula beberapa orang pejuang yang diajak Pak Harto ke Semarang dan pulangnya dibawakan oleh-oleh bandeng presto dan bahan pakaian untuk dibagikan pada seluruh warga.
Secara umum dusun ini sangat berperan penting dalam perang kemerdekaan yaitu membantu mencarikan logistik untuk makan yang dipimpin oleh dukuh bibis pada waktu itu, yang bernama Harjo Wiyadi yang merupakan ayah dari bapak Sukardi. Didirikan pula dapur umum pusatnya di daerah Ngrompang untuk memasak makanan tentara kita, biasanya yang sering dimasak adalah sayur kermemes dan singkong. Selain itu dusun ini berperan dalam bidang tenaga yaitu terdapat pasukan yang ikut tentara Indonesia dengan membawa alat-alat amunisi untuk mencegat tentara Belanda melalui Madukismo. Pak Sukardi yang waktu kejadian serangan umum 1 Maret berusia 14 tahun pernah menemani Suharto berburu dengan membawakan senapan beliau.[3]
Penduduk dukuh bibis berperan dalam membawa radiogram, membuat dan mengantar makanan, membawakan ransel, membawakan amunisi atau ranjau yang ditanam di tanah-tanah. Para tentara Indonesia menyerang musuh secara gerilya di malam hari, siang harinya mereka bersembunyi. Mereka membuat jalan-jalan yang akan menuju ke dukuh bibis dengan kubangan-kubangan agar Belanda tidak bisa lewat, jalan-jalan itu diberi rintangan dan ditanami pohon pisang agar tidak terlihat seperti jalan. Tidak terdapat korban jiwa di dukuh bibis dalam perang kemerdekaan ini, karena selalu ada kurir untuk memata-matai Belanda, jika mendengar Belanda sudah dekat, seluruh penduduk lari ke daerah yang dianggapnya lebih aman.[4]
Untuk napak tilas bahwa di dukuh bibis ini pernah menjadi tempat singgah tentara Indonesia yang akan melancarkan serangan umum 1 Maret 1949, maka diresmikanlah monumen perjuangan pada bulan September tahun 1979. Setiap setahun sekali saat pak Harto masih menjadi presiden di monumen ini selalu diadakan upacara peringatan. Di monumen ini dulu pernah diadakan musyawarah antara pemerintah dengan Malaysia untuk mengadakan perjanjian kerjasama. Monumen ini pernah runtuh akibat gempa tahun 2006, namun dapat dibangun kembali.
C.      Akhir dari Perang Kemerdekaan di Yogyakarta dan Pengaruhnya bagi Desa Bibis, Bantul, Yogyakarta.
Bantul memang tak bisa dilepaskan dari sejarah Yogyakarta sebagai kota perjuangan dan sejarah perjuangan Indonesia pada umumnya. Bantul menyimpan banyak kisah kepahlawanan. Sebuah peristiwa yang penting dicatat adalah Perang Gerilya melawan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman (1948) yang banyak bergerak di sekitar wilayah Bantul. Wilayah ini pula yang menjadi basis, “Serangan Oemoem 1 Maret” (1949) yang dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Pada tanggal 19 Desember 1948 pasukan Belanda menyerbu secara besar-besaran ke wilayah RI. Kota Yogyakarta yang berperan sebagai Ibukota RI, dalam waktu singkat jatuh ke tangan tentara Belanda. Presiden dan Wakil Presiden, Sutan Syahrir beserta sejumlah menteri berhasil ditawan Belanda. Keadaan ini cukup membesarkan harapan pemerintah Belanda untuk melenyapkan RI beserta angkatan perangnya. Tetapi yang diperhitungkan Belanda itu tidak seluruhnya benar, karena secara politis dan strategis tindakan kekerasan Belanda itu justru merugikan bagi dirinya sendiri. Tindakan tentara Belanda itu mengakibatkan meluapnya semangat rakyat dan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Oleh karena yang terjadi bukan perdamaian, melainkan persengketaan antara pemerintah Belanda dengan pemerintah RI serta rakyat Indonesia menjadi semakin memuncak.
Sasaran utama Belanda adalah TNI dan Yogyakarta. Ambisi-ambisi   Belanda itu dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 1948 dengan menyerang Yogyakarta sebagai Ibukota dan Markas Besar Angkatan Perang. Yogya memang dikuasai, tetapi tidak demikian dengan orang-orang yang ada didalamnya. Akibat serangan, Sukarno  memerintahkan untuk membentuk PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di Sumatra. Pembentukan PDRI oleh Syafruddin itu sangat berarti dalam perjuangan. Adanya PDRI berarti pemerintahan tetap berlangsung meskipun para pemimpin politik di tawan Belanda. Meskipun dunia internasional hanya mengakui Sukarno-Hatta sebagai pemimpin, tetapi PDRI pada masa agresi militer Belanda II telah menyambung pemerintahan RI, sehingga pemerintahan RI tidak pernah putus asa dan tidak ada alasan bagi Belanda untuk mengatakan bahwa RI telah hancur.[5]
Meski Yogyakarta telah dikuasai, serangan balasan dari gerilyawan selalu dilakukan, sehingga Belanda merasa tidak aman berada di dalam kota Yogya. Hal itu memang sengaja dibuat gerilyawan. Bagi mereka memang tidak mungkin menghadapi Belanda dengan cara frontal, Karena kalah dalam persenjataan. Pertahanan yang ditempuh gerilyawan seperti membuat pos-pos. Belanda kalang kabut karena gerilyawan menyerang dengan mendadak dan cepat.
Pada masa perjuangan, gerilyawan banyak mendapat bantuan dari rakyat. Hampir semua pemuda ikut berjuang bersama TNI. Mereka bahu-membahu mengusir penjajah. Para pejuang tidak takut mati. Mati membela negara adalah mati sahid. Pejuang rela menjadi tumbal kemerdekaan. Disamping terdapat pemuda pejuang juga pemusinya tidak ketingggalan. Mereka yang telah dilatih dalam palang merah membantu merawat para pejuang yang terluka. Para perawat itu berjuang dibarisan kesehatan. Para Ibu juga tidak mau kalah, dengan menyelenggarakan dapur umum untuk merangsung para pejuang, karena makanan para pejuang tergantung dari pemberian rakyat, sehingga adanya hubungan timbal balik antara rakyat dan pejuang. Rakyat merasa aman apabila dekat dengan tentara dan merasa terlindungi, sebaliknya pejuang tidak sempat mencari makan. Rakyat dengan suka rela memberikan makanan kepada para pejuang. Rakyat menyadari hanya itulah yang mampu mereka berikan terhadap perjuangan. Kebanyakan rakyat tidak merasa terpaksa untuk memberikan apa saja kepada pejuang demi perjuangan. Ada juga rakyat yang rela menjadi kurir gerilya meskipun  dengan resiko yang sangat besar.[6]
Yogyakarta sebagai Ibukota negara RI untuk sementara waktu, ternyata mempunyai dampak yang sangat berarti dalam berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara, diantaranya:
1.         Melahirkan semangat dan nilai-nilai perjuangan.
Bangsa Indonesia yang telah melakukan perjuangan selama bertahun-tahun akhirnya dapat tercapai pada puncaknya pada tanggal  17 agustus 1945,    dengan dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di jalan Pengangsaan Timur No. 56 Jakarta. Sambutan atas Proklamasi inipun datang dari berbagai pelosok Tanah Air, termasuk dari Yogyakarta dengan suara bulat mendukung keberadaan negara RI yang baru lahir tersebut.[7]
Mulai saat itulah benih-benih perjuangan yang telah disemaikan jauh sebelum menjadi tumbuh subur disegenap lapisan masyarakat Yogyakarta. Kesetiaan Yogyakarta terhadap negara RI tidaklah hanya didalam ucapan namun telah diwujudkan melalui tindakan nyata. Berkat kepemimpinan yang arif dan bijaksana dari pemimpin pemerintahan sipil maupun militer dan dengan mendapat dukungan sepenuhnya dari rakyat Yogyakarta, ternyata mampu  menjadi “penerang didalam kegelapan” dan sanggup menggelorakan api perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan. Semangat Proklamasi Kemerdekaan 1945 inilah, yang  dikemudiaan hari dapat mengorbankan semangat perjuangan disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, sampai kini tetap terpatri dalam segenap warga Yogyakarta pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
2.         Pelopor dalam bidang Pendidikan dan Sosial Budaya.
Jauh sebelum Indonesia merdeka keberadaan sektor pendidikan di Indonesia baru terbatas pada penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar dan menengah lanjutan, baik yang di selenggarakan oleh kaum kolonial maupun pribumi. Akan tetapi, semenjak Proklamasi keberadaan sektor ini berubah setingkat lebih tinggi dari masa sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya beberapa Perguruan Tinggi di Yogyakarta seperti UGM, IKIP Negeri, IAIN, IKIP Sanata Dharma, Universitas Janabadra.
Yogyakarta sebagai salah satu pusat pendidikan dan kebudayaan memiliki peranan dan potensi yang besar dalam memberikan sumbangan dan pembangunan. Dengan banyaknya para pelajar dari berbagai daerah yang datang ke Yogyakarta, menjadikan daerah ini sebagai media dan tempat interaksi yang dapat melahirkan akumulasi kebudayaan dengan memberikan sumbangan terhadap terbentuknya jiwa persatuan dan kesatuan.
Selain itu, potensi lain yang cukup penting adalah adanya karakteristik umum masyarakat di DIY yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tabah, sederhana, gotong royong dan mau mawas diri, tenggang rasa, dan jiwa patriotisme merupakan sikap mental dan tenaga penggerak bagi pembangunan manusia seutuhnya.
Dengan berakhirnya serangan 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta, maka semakin kuatlah pengakuan dari dunia internasional, baik yang dilakukan oleh negara-negara sahabat maupun badan dunia PBB. Reaksi dunia dengan agresi Belanda II cukup membuat Belanda sangat terpojok. Kecaman datang dari berbagai penjuru. Simpati dan dukungan dari dunia internasional semakin besar kepada RI, sehingga menumbuhkan optimisme bangsa Indonesia untuk merebut kedaulatannya. Hal ini terbukti dengan keikut sertaan PBB melalui Dewan Keamanan dalam meyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda. Badan dunia PBB, berusaha mendesak Belanda agar segera menyerahkan kedaulatan bangsa Indonesia dengan melalui berbagai macam perundingan. Akibat tekanan-tekanan tersebut, Belanda mulai bersikap lunak kepada RI. Belanda menjanjikan niatnya untuk membuka kembali perundingan untuk menyelesaikan masalah politik di Indonesia.




















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pada tanggal 19 Desember Belanda mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian Renville sehingga Belanda mulai melakukan serangan ke Yogyakarta yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda II. Yogyakarta yang merupakan ibu kota darurat Indonesia berhasil di kuasai oleh Belanda. Para tokoh dan masyarakat berhaburan keluar kota untuk menyelamatkan diri dari tentara Belanda. TNI melakukan perang gerilya untuk menghadapi Belanda dalam perjuangan merebut kembali Yogyakarta.
Perang gerilya yang dilakukan TNI dalam menghadapi Belanda ini berpusat di daerah Bantul tepatnya di Desa Bibis. Masyarakat desa Bibis membantu tentara Indonesia dalam perjuangannya. Bantuan yang diberikan berupa menyediakan makanan bagi para tentara, menganggkut logistik, membuat perangka, dan juga memasang ranjau di jalan-jalan yang di lalui tentara Belanda. Desa Bibis juga selain menjadi markas dalam perang gerilya juga menjadi tempat bagi para pejuang untuk mempersiapkan serangan untuk merebut Yogyakarta dan menunjukan bahwa TNI masih tetap eksis. Serangan merebut yogyakarta ini dikenal dengan serangan umum 1 maret 1949, sehingga pada tahun 1977 di desa Bibis didirikan monumen peringatan sebagai bukti bahwa di desa Bibis pernah dijadikan markas TNI dalam mempersiapkan serangan untuk merebut kebali ibu kota Republik Indonsia







DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku :
Amrin Imran. 1985. Selamat Pagi Yogyakarta. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Notosusanto Noegroho (Ed). 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Tashadi dkk. 1987. Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumber Wawancara :
Kesaksian dari bapak Sukardi, yang merupakan anak dari kepala dukuh bibis waktu itu yaitu Bapak Harjo Wiyadi. Pak Sukardi lahir pada 26 November 1936.

Wawancara pada bapak Dullah Prayitno yang merupakan warga di Dukuh Bibis, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Beliau lahir tanggal 1 Dulkaidah tahun 1941.

Wawancara dengan bapak Samiarjo yang merupakan warga di dukuh bibis, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Beliau dilahirkan pada tahun 1949.






[1] Amrin Imran, 1985, Selamat Pagi Yogyakarta, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, hlm. 15.
[2] Wawancara pada bapak Dullah Prayitno yang merupakan warga di Dukuh Bibis, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Beliau lahir tanggal 1 Dulkaidah tahun 1941.
[3] Kesaksian dari bapak Sukardi, yang merupakan anak dari kepala dukuh bibis waktu itu yaitu Bapak Harjo Wiyadi. Pak Sukardi lahir pada 26 November 1936.
[4] Wawancara dengan bapak Samiarjo yang merupakan warga di dukuh bibis, beliau dilahirkan pada tahun 1949.
[5] Notosusanto Noegroho (Ed), 1984, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, Jakarta: PN Balai Pustaka, hlm. 34.
[6] Tashadi dkk, 1987, Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 di Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 30.
[7] Ricklefs, M.C, 1992, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hlm. 54.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HISTORIOAGRAFI EROPA PADA ABAD PERTENGAHAN

Naturalisme, Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Eksistensialisme

PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU