PERANAN DUKUH BIBIS BANTUL YOGYAKARTA DALAM PERANG KEMERDEKAAN 1948-1949
PERANAN DUKUH BIBIS BANTUL
YOGYAKARTA DALAM PERANG KEMERDEKAAN 1948-1949
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah
Lisan
Dosen Pengampu: Terry Irrenewaty, M.Hum.
Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
1.
Didin
Harianto (09406244001)
2.
Lidya Dwi Jayanti (09406244030)
3.
Windya
Ayu Maryuti (09406244033)
4.
Arif
Purnomo Aji (09406244046)
JURUSAN PENDIDIKAN
SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada kami, sehingga kita dapat menyelesiakan tugas Mata Kuliah Sejarah
Lisan yang berjudul Peranan Dukuh Bibis Bantul
Yogyakarta Dalam Perang Kemerdekaan 1948-1949.
Dalam penyusunan makalah ini, kami tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu tidak berlebihan kiranya apabila kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penyusunan makalah ini.
Kami tidak dapat memberikan yang pantas kecuali dengan permohonan kepada Allah
SWT semoga budi baiknya mendapat imbalan yang lebih
Amin.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif guna
perbaikan pada makalah selanjutnya sangat kami harapkan.
Yogyakarta, 8 Mei 2012
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Proklamasi
kemerdekaan menuntut tugas berat untuk mempertahankan kemerdekaan. Upaya
mempertahankan kemerdekaan dilakukan dengan cara militer dan perundingan. Melalui
perjuangan bersenjata, bangsa Indonesia menunjukkan kesungguhannya untuk
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya. Belanda masih ingin menguasai
Indonesia karena merasa bahwa Indonesia adalah miliknya. Sehingga dia melakukan
berbagai upaya guna mendapatkan kembali Indonesia, termasuk melalui perlawanan
dan meja perundingan. Sejak 10 Februari 1946 telah terjadi perundingan antara
Indonesia dengan Belanda. Indonesia kemudian disudutkan dengan berbagai
perundingan yang selalu diingkari oleh pihak Belanda sendiri. Serangan-serangan
militer Belanda terhadap Indonesiapun masih gencar dilakukan Belanda dengan
mengabaikan perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati.
Terdapat banyak
sekali peristiwa sejarah pada saat masuknya sekutu yang diboncengi oleh Belanda
(NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang. Agresi militer
Belanda terjadi sampai dua kali yaitu agresi militer Belanda I yang mengingkari
perundingan linggarjati dan agresi militer Belanda II yang melanggar
perundingan Renville. Saat itu Belanda melakukan serangan terhadap kota
Yogyakarta. Dalam waktu singkat, Yogyakarta yang ketika itu sebagai ibu kota RI
dapat dikuasai.
Berbagai
pertempuran yang terjadi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia salah
satunya adalah Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Pada tanggal 19
Desember 1948 merupakan hari pertama dilaksanakannya perang gerilya secara
total. Sejak saat itu Letkol Soeharto yang bermarkas di dukuh Bibis desa
Bangunjiwo sampai dengan 8 April 1949 memegang peranan penting untuk melakukan
serangan umum 1 Maret 1949. Serangan yang dilakukan oleh para pejuang
kemerdekaan kepada Belanda saat itu dilakukan guna memperkokoh diplomasi dan
simbol ekstistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di mata
internasional. Pada serangan ini Yogyakarta berhasil direbut kembali.
Berdasarkan
uraian di atas, penyusun tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai Peranan
Desa Bibis Bantul Yogyakarta dalam Perang Kemerdekaan 1948-1949. Pentingnya
penelitian ini dilakukan karena penyusun berpendapat bahwa desa Bibis, Bantul,
Yogyakarta merupakan salah satu tempat yang tidak banyak dikenal oleh
masyarakat, padahal tempat ini berperan penting dalam perang kemerdekaan
Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan dibahas yaitu:
1.
Apa latar belakang
terjadinya Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta?
2.
Bagaimana peranan Dukuh Bibis Bantul
Yogyakarta dalam Perang Kemerdekaan 1948-1949?
3.
Bagaimana akhir dari
perang kemerdekaan di Yogyakarta dan pengaruhnya bagi dukuh Bibis, Bantul,
Yogyakarta?
C.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu
selain untuk memenuhi tugas mata kuliah sejarah lisan juga untuk mengetahui:
1.
Latar belakang
terjadinya Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
2.
Peranan Dukuh Bibis Bantul
Yogyakarta dalam Perang Kemerdekaan 1948-1949.
3.
Akhir dari perang
kemerdekaan di Yogyakarta dan pengaruhnya bagi dukuh Bibis, Bantul, Yogyakarta.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Terjadinya Perang Kemerdekaan di Bantul Yogyakarta
Pada tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30 menyatakan kepada RI dan
KTN bahwa Belanda mulai tanggal 19 Desember 1948 pukul 00.00 waktu Jakarta (WIB)
tidak lagi terikat pada perjanjian Renville. Pagi itu, Minggu tanggal
19 Desember 1948 kehidupan kota Yogyakarta tampak normal. Mereka melakukan
rutinitas kegiatan sehari-hari, meskipun suasana politik memanas. Suasana di
pangkalan udara Maguwo masih sepi dan tenang. Beberapa orang anggota AURI
tampak sedang melakukan tugas jaga, tetapi sebagian besar masih tidur. Karena
pada malam itu mereka mempersiapkan keberangkatan anggota Angkatan Perang yang
akan pergi ke Sumatra.[1] Banyak pula
anggota tentara yang telah pergi ke luar kota untuk latihan militer. Kira-kira
pukul 05.30 tanggal 19 Desember 1948 terdengar bunyi pesawat terbang diatas
kota Yogyakarta. Penduduk mengira itu adalah pesawat AURI yang sedang
mengadakan latihan perang, sebab selama beberapa hari memang RRI menyiarkan
berita bahwa Angkatan Perang Republik akan mengadakan latihan perang. Namun
beberapa tempat di Yogyakarta sudah dihujani bom oleh pesawat pembom Mitchell
yang diikuti dengan penerjunan pasukan Belanda di Maguwo.
Perlawanan yang diberikan petugas yang menjaga lapangan terbang
dibawah pimpinan Perwira piket Kadet Udara Kasmiran tidak dapat menahan serbuan
tentara Belanda, sehingga Maguwo dapat dikuasai. Dengan dikuasai Maguwo,
Belanda dapat membuka jembatan udara Surakarta, Yogyakarta untuk menurunkan
alat perangnya guna merebut kota Yogyakarta. Setelah berhasil menguasai Maguwo,
tentara Belanda segera bergerak menuju Yogyakarta, sementara itu pihak RI
berusaha memperlambat gerak maju Belanda,
hal ini digunakan untuk memberi kesempatan pada pasukan yang ada didalam
kota untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan sesuatu yaitu membumi hanguskan
tempat-tempat strategis agar tidak digunakan untuk persembunyian musuh. Cara lain yang
ditempuh dengan menebang pohon yang ditumbangkan ke jalan raya, merusak jalan.
Meskipun telah diadakan gerakan penghalang musuh, TNI tidak
dapat menahan tentara Belanda, sehingga pukul 15.30 Yogyakarta sudah diduduki
sepenuhnya. Dimata Belanda RI memang sudah tidak ada, tetapi TNI masih utuh, namun Belanda
tidak mengetahui hal ini. Pada hari-hari awal pendudukan Belanda, situasi
memang kelihatan tenang. Menurut Belanda karena para pemimpin RI yaitu
Soekarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, sudah ditawan, maka praktis pemerintahan
RI tidak dapat dijalankan. Belanda terlalu lengah dengan kemenangan, sehingga
tidak waspada. Sementara itu, Ibukota RI di Yogyakarta diserbu Belanda dengan aksi
militer Belanda II, terjadilah konflik yang melibatkan pimpinan pemerintahan
sipil dan militer. Seperti dikisahkan oleh Sri Sultan HB IX sebagai berikut:
“Sekitar tujuh bulan sebelum tentara menyerbu Yogyakarta, saya
menghadiri pertemuan dengan Soedirman, Hatta dan Soekarno pada pertemuan itu di
putuskan bahwa pemerintahan akan meninggalkan kota jika Belanda melancarkan serangan……..beberapa
hari sebelum Yogyakarta di serbu, pihak militer, setelah melihat seretnya
perundingan, sampai pada kesimpulan bahwa Belanda pasti akan menyerbu dalam
waktu dekat. Karena itulah maka rencana yang telah disusun mulai dijalankan,
salah satu dari rencana itu adalah melakukan perang gerilya…..pada tanggal 19
Desember 1948, yakni hari yang dipakai Belanda untuk menyerang wilayah
Republik…….pagi itu juga dengan susah payah Jendral Soedirman datang ke gedung
negara untuk mengajak Bung Karno malahan menolak, dan kemudiaan membujuk
Soedirman agar beristirahat didalam kota biar nanti dirawat oleh dokter tentara
Belanda yang segera masuk kota. Tentu saja Soedirman menolak dirawat dokter
Belanda dan dengan segera berangkat meninggalkan kota Yogyakarta…..”
Sejak saat itulah hubungan antara sipil dan militer tidak harmonis.
Akan tetapi permasalahan-permasalahan yang timbul pada waktu itupun dapat
diselesaikan dengan arif dan bijaksana. Adanya sikap mau mengalah demi masa
depan Negara ini yang ditunjukkan diantara para pemimpin itu, kiranya dapat
dijadikan pelajaran yang berharga bagi generasi mendatang.
B.
Peranan
Desa Bibis Bantul Yogyakarta dalam Perang Kemerdekaan 1948-1949
Pada
tanggal 19 Desember 1948,
Belanda melancarkan Agresi Militer II Belanda ke Yogyakarta (Adisucipto).
Rakyat kota kemudian mengungsi ke desa-desa. Pada bulan Januari di desa Bibis Wetan didatangi TNI yang
melarikan diri dari kota. Terdapat satu kompi, dua seksi yang diantaranya
terdapat Letnan Sukoco, Samiarjo, sebagai anak buah dari Batalyon 1 pimpinan
Mayor Sarjono. Wilayahnya pelarian ada di desa Bibis wetan sampai Sewon.
Tentara yang datang terdiri dari segala penjuru, ada pula yang dari Jawa Barat.
Letnan
Kolonel Soeharto bersama Sri Sultan Hamengkubuwono IX bekerja sama dengan
membuat sandi atau tempat untuk mencari informasi yaitu dibuatnya rumah makan
Tuas yang berada di Gemolan, Jeroan Benteng. Disana terdapat banyak pedagang
yang menggunakan cemplon yang di dalamnya terdapat surat atau informasi berisi
keadaan di dalam dan di luar kota yang diberikan kepada Pak harto. Bahkan dulu
saat direbut kembali Yogyakarta di rumah makan itu ada sebuah kursi untuk
tempat duduk Sultan yang dinamakan kursi keramat.[2]
Pada
tanggal 16 Februari Soeharto pergi ke kota, ke sebelah selatan yaitu di sebuah
dusun dekat kali opak (Segoroyoso) di rumah bapak lurah Dongkol. Malam harinya
beliau merencanakan untuk melakukan serangan umum. Namun, ketahuan oleh
mata-mata Belanda. Akhirnya rencana itu batal.
Soeharto pindah ke dukuh Bibis untuk meneruskan rencananya mengatur
jalannya serangan umum 1 Maret 1949. Terdapat perbukitan yang membanjar di
sebelah selatan dukuh bibis sudah banyak tentara Indonesia yang siap sedia
dengan senjatanya. Jalan yang akan menuju dukuh bibis pun sudah dipenuhi oleh
tentara. Pak harto membuat markas di Bibis dan mengadakan kontak dengan Rumah
Makan Tuas. Gua yang dulu pernah menjadi tempat bersembunyi pangeran diponegoro
beserta prajuritnya di dukuh bibis itu pun menjadi tempat persembunyian para
tentara Indonesia, namun karena ketahuan Belanda maka Gua itu dinamakan Gua
Urung, kemudian tentara Indonesia pindah ke gua Selarong.
Menurut
bapak Dullah Prayitno, keadaan Indonesia
saat dijajah Jepang benar-benar sengsara sekali, kelaparan berada dimana-mana.
Karena sakin laparnya orang-orang Indonesia menjadi ganas dan lebih baik mati
untuk berperang dan berjuang bersama tentara daripada harus mati kelaparan.
Pagi harinya TNI pergi ke Klangon, sebagian lagi pergi ke kota utara untuk
mempersiapkan melakukan serangan. Maka setelah berbagai persiapan dilakukan,
maka dilancarkan serangan umum 1 Maret 1949. Serangan berhasil dilakukan dalam
waktu enam jam di Yogyakarta, Jogja berhasil dikuasai kembali yang sempat
menjadi ibukota Indonesia.
Setelah
kurang lebih satu bulan di kota pak Harto kembali ke desa Bibis lagi. Beliau
membuat markas di desa ini sampai dengan ke jalan monjali. Pada tanggal 9 April
sampai 28 Juni 1949 beliau berangkat dari sini. Sebelum serangan gerilya
berlangsung, terdapat kurir yang datang yang mengatakan bahwa Belanda meminta
bantuan dari Solo ke Magelang. Lalu pasukan TNI dengan sergap masuk ke keraton.
Di dalam kota itu dipimpin oleh Kapten Marsudi.
PBB
yang mengetahui keadaan Indonesia menjadi mengerti bahwa masih ada pemerintahan
di Indonesia karena perlawanan yang dilakukan kepada Belanda. Dunia
Internasional mengakui bahwa Indonesia masih punya kekuatan yang besar.
Seminggu sekali kira-kira pukul lima sore, Soeharto selalu berkunjung ke Sultan
didampingi oleh Kopral Basar, Sarimin, Supeno, Sugiarto (tidak tetap). Beliau
mengunjungi Sultan dengan berjalan kaki.
Pasukan
Belanda satu kompi bermarkas di Bantul. Rencananya oleh para pengawal tentara
akan diserang, namun Soeharto melarang karena dikhawatirkan akan merusak dusun
ini. Jika ada serangan, TNI meminta kurir ke weakers (wilayah bagian TNI). Pada
tanggal 28 Juni terjadi kesepakatan antara Sultan dengan KTN untuk menyerahkan
Yogyakarta kembali.
Desa
ini dianggap aman untuk melarikan diri karena medannya yang strategis. Di
depannya terdapat tanah datar atau sawah, jika ada apa-apa prajurit lari ke
belakang (daerah bukit). Setelah Jogja kembali Soeharto yang akan berangkat ke
kota Gading (alun-alun kecil) untuk menerima penyerahan dari KTN dibuatkan
bekal oleh orang tua pak Sukardi. Yang ikut berangkat kesana yaitu:
1.
Letkol Soeharto sebagai
ketua
2.
Mayor Pranoto Rekso
Samudro sebagai wakil
3.
Ajudan Let. 1 Sugiono
4.
Ajudan Let. KG Dion
5.
Ajudan Let. 1 Marzuki
6.
Ajudan Let. Denmlati
7.
Sersan Mayor Soeharto
8.
Sersan Mayor Jumaeri
9.
Kopral Sudarso
10. Kopral
Sugandirman
11. Pesuruhnya
bernama kopling, bukan dari TNI. Bertugas untuk mencari informasi di kota.
Setelah
selesai serangan umum kemudian penyerahan Jogja kembali, pak Harto beserta anak
buahnya menjadi komandan RI 13, markas pertama di perempatan Pamungkas
(sekarang menjadi museum TNI AD). Beliau
mengadakan perayaan, berterima kasih pada dusun Bibis dengan mengadakan
sykukuran mendatangkan penari wayang orang dari Kraton dan membagikan pakaian
pada masyarakat sini. Ada pula beberapa orang pejuang yang diajak Pak Harto ke
Semarang dan pulangnya dibawakan oleh-oleh bandeng presto dan bahan pakaian
untuk dibagikan pada seluruh warga.
Secara
umum dusun ini sangat berperan penting dalam perang kemerdekaan yaitu membantu
mencarikan logistik untuk makan yang dipimpin oleh dukuh bibis pada waktu itu,
yang bernama Harjo Wiyadi yang merupakan ayah dari bapak Sukardi. Didirikan
pula dapur umum pusatnya di daerah Ngrompang untuk memasak makanan tentara
kita, biasanya yang sering dimasak adalah sayur kermemes dan singkong. Selain
itu dusun ini berperan dalam bidang tenaga yaitu terdapat pasukan yang ikut
tentara Indonesia dengan membawa alat-alat amunisi untuk mencegat tentara
Belanda melalui Madukismo. Pak Sukardi yang waktu kejadian serangan umum 1
Maret berusia 14 tahun pernah menemani Suharto berburu dengan membawakan
senapan beliau.[3]
Penduduk
dukuh bibis berperan dalam membawa radiogram, membuat dan mengantar makanan,
membawakan ransel, membawakan amunisi atau ranjau yang ditanam di tanah-tanah.
Para tentara Indonesia menyerang musuh secara gerilya di malam hari, siang
harinya mereka bersembunyi. Mereka membuat jalan-jalan yang akan menuju ke
dukuh bibis dengan kubangan-kubangan agar Belanda tidak bisa lewat, jalan-jalan
itu diberi rintangan dan ditanami pohon pisang agar tidak terlihat seperti
jalan. Tidak terdapat korban jiwa di dukuh bibis dalam perang kemerdekaan ini,
karena selalu ada kurir untuk memata-matai Belanda, jika mendengar Belanda
sudah dekat, seluruh penduduk lari ke daerah yang dianggapnya lebih aman.[4]
Untuk
napak tilas bahwa di dukuh bibis ini pernah menjadi tempat singgah tentara
Indonesia yang akan melancarkan serangan umum 1 Maret 1949, maka diresmikanlah
monumen perjuangan pada bulan September tahun 1979. Setiap setahun sekali saat
pak Harto masih menjadi presiden di monumen ini selalu diadakan upacara
peringatan. Di monumen ini dulu pernah diadakan musyawarah antara pemerintah
dengan Malaysia untuk mengadakan perjanjian kerjasama. Monumen ini pernah
runtuh akibat gempa tahun 2006, namun dapat dibangun kembali.
C.
Akhir
dari Perang Kemerdekaan di Yogyakarta dan Pengaruhnya bagi Desa Bibis, Bantul,
Yogyakarta.
Bantul
memang tak bisa dilepaskan dari sejarah Yogyakarta sebagai kota perjuangan dan
sejarah perjuangan Indonesia pada umumnya. Bantul menyimpan banyak kisah
kepahlawanan. Sebuah peristiwa yang penting dicatat adalah Perang Gerilya
melawan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman (1948) yang banyak
bergerak di sekitar wilayah Bantul. Wilayah ini pula yang menjadi basis,
“Serangan Oemoem 1 Maret” (1949) yang dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono
IX.
Pada
tanggal 19 Desember 1948 pasukan Belanda menyerbu secara besar-besaran ke
wilayah RI. Kota Yogyakarta yang berperan sebagai Ibukota RI, dalam waktu
singkat jatuh ke tangan tentara Belanda. Presiden dan Wakil Presiden, Sutan
Syahrir beserta sejumlah menteri berhasil ditawan Belanda. Keadaan ini cukup
membesarkan harapan pemerintah Belanda untuk melenyapkan RI beserta angkatan
perangnya. Tetapi yang diperhitungkan Belanda itu tidak seluruhnya benar,
karena secara politis dan strategis tindakan kekerasan Belanda itu justru
merugikan bagi dirinya sendiri. Tindakan tentara Belanda itu mengakibatkan
meluapnya semangat rakyat dan bangsa Indonesia untuk mempertahankan
kemerdekaannya yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Oleh karena
yang terjadi bukan perdamaian, melainkan persengketaan antara pemerintah
Belanda dengan pemerintah RI serta rakyat Indonesia menjadi semakin memuncak.
Sasaran utama Belanda adalah TNI dan
Yogyakarta. Ambisi-ambisi Belanda itu dilaksanakan pada tanggal 19
Desember 1948 dengan menyerang Yogyakarta sebagai Ibukota dan Markas Besar
Angkatan Perang. Yogya memang dikuasai, tetapi tidak demikian dengan
orang-orang yang ada didalamnya. Akibat serangan, Sukarno memerintahkan
untuk membentuk PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di Sumatra.
Pembentukan PDRI oleh Syafruddin itu sangat berarti dalam perjuangan. Adanya
PDRI berarti pemerintahan tetap berlangsung meskipun para pemimpin politik di
tawan Belanda. Meskipun dunia internasional hanya mengakui Sukarno-Hatta
sebagai pemimpin, tetapi PDRI pada masa agresi militer Belanda II telah
menyambung pemerintahan RI, sehingga pemerintahan RI tidak pernah putus asa dan
tidak ada alasan bagi Belanda untuk mengatakan bahwa RI telah hancur.[5]
Meski Yogyakarta telah dikuasai,
serangan balasan dari gerilyawan selalu dilakukan, sehingga Belanda merasa
tidak aman berada di dalam kota Yogya. Hal itu memang sengaja dibuat
gerilyawan. Bagi mereka memang tidak mungkin menghadapi Belanda dengan cara frontal,
Karena kalah dalam persenjataan. Pertahanan yang ditempuh gerilyawan seperti
membuat pos-pos. Belanda kalang kabut karena gerilyawan menyerang dengan
mendadak dan cepat.
Pada masa perjuangan, gerilyawan
banyak mendapat bantuan dari rakyat. Hampir semua pemuda ikut berjuang bersama
TNI. Mereka bahu-membahu mengusir penjajah. Para pejuang tidak takut mati. Mati
membela negara adalah mati sahid. Pejuang rela menjadi tumbal kemerdekaan.
Disamping terdapat pemuda pejuang juga pemusinya tidak ketingggalan. Mereka
yang telah dilatih dalam palang merah membantu merawat para pejuang yang
terluka. Para perawat itu berjuang dibarisan kesehatan. Para Ibu juga tidak mau
kalah, dengan menyelenggarakan dapur umum untuk merangsung para pejuang, karena
makanan para pejuang tergantung dari pemberian rakyat, sehingga adanya hubungan
timbal balik antara rakyat dan pejuang. Rakyat merasa aman apabila dekat dengan
tentara dan merasa terlindungi, sebaliknya pejuang tidak sempat mencari makan.
Rakyat dengan suka rela memberikan makanan kepada para pejuang. Rakyat
menyadari hanya itulah yang mampu mereka berikan terhadap perjuangan.
Kebanyakan rakyat tidak merasa terpaksa untuk memberikan apa saja kepada
pejuang demi perjuangan. Ada juga rakyat yang rela menjadi kurir gerilya meskipun
dengan resiko yang sangat besar.[6]
Yogyakarta sebagai Ibukota negara RI
untuk sementara waktu, ternyata mempunyai dampak yang sangat berarti dalam
berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara, diantaranya:
1.
Melahirkan semangat dan nilai-nilai perjuangan.
Bangsa
Indonesia yang telah melakukan perjuangan selama bertahun-tahun akhirnya dapat
tercapai pada puncaknya pada tanggal 17 agustus 1945,
dengan dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di jalan Pengangsaan
Timur No. 56 Jakarta. Sambutan atas Proklamasi inipun datang dari berbagai
pelosok Tanah Air, termasuk dari Yogyakarta dengan suara bulat mendukung
keberadaan negara RI yang baru lahir tersebut.[7]
Mulai
saat itulah benih-benih perjuangan yang telah disemaikan jauh sebelum menjadi tumbuh
subur disegenap lapisan masyarakat Yogyakarta. Kesetiaan Yogyakarta terhadap
negara RI tidaklah hanya didalam ucapan namun telah diwujudkan melalui tindakan
nyata. Berkat kepemimpinan yang arif dan bijaksana dari pemimpin pemerintahan
sipil maupun militer dan dengan mendapat dukungan sepenuhnya dari rakyat
Yogyakarta, ternyata mampu menjadi “penerang didalam kegelapan” dan
sanggup menggelorakan api perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi
kemerdekaan. Semangat Proklamasi Kemerdekaan 1945 inilah, yang
dikemudiaan hari dapat mengorbankan semangat perjuangan disegala bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara, sampai kini tetap terpatri dalam segenap
warga Yogyakarta pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
2.
Pelopor dalam bidang Pendidikan dan Sosial Budaya.
Jauh
sebelum Indonesia merdeka keberadaan sektor pendidikan di Indonesia baru
terbatas pada penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar dan menengah lanjutan,
baik yang di selenggarakan oleh kaum kolonial maupun pribumi. Akan tetapi,
semenjak Proklamasi keberadaan sektor ini berubah setingkat lebih tinggi dari
masa sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya beberapa Perguruan Tinggi
di Yogyakarta seperti UGM, IKIP Negeri, IAIN, IKIP Sanata Dharma, Universitas
Janabadra.
Yogyakarta
sebagai salah satu pusat pendidikan dan kebudayaan memiliki peranan dan potensi
yang besar dalam memberikan sumbangan dan pembangunan. Dengan banyaknya para
pelajar dari berbagai daerah yang datang ke Yogyakarta, menjadikan daerah ini
sebagai media dan tempat interaksi yang dapat melahirkan akumulasi kebudayaan
dengan memberikan sumbangan terhadap terbentuknya jiwa persatuan dan kesatuan.
Selain
itu, potensi lain yang cukup penting adalah adanya karakteristik umum
masyarakat di DIY yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tabah, sederhana,
gotong royong dan mau mawas diri, tenggang rasa, dan jiwa patriotisme merupakan
sikap mental dan tenaga penggerak bagi pembangunan manusia seutuhnya.
Dengan
berakhirnya serangan 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta, maka semakin kuatlah
pengakuan dari dunia internasional, baik yang dilakukan oleh negara-negara
sahabat maupun badan dunia PBB. Reaksi dunia dengan agresi Belanda II cukup
membuat Belanda sangat terpojok. Kecaman datang dari berbagai penjuru. Simpati
dan dukungan dari dunia internasional semakin besar kepada RI, sehingga
menumbuhkan optimisme bangsa Indonesia untuk merebut kedaulatannya. Hal ini
terbukti dengan keikut sertaan PBB melalui Dewan Keamanan dalam meyelesaikan
perselisihan antara Indonesia dengan Belanda. Badan dunia PBB, berusaha
mendesak Belanda agar segera menyerahkan kedaulatan bangsa Indonesia dengan
melalui berbagai macam perundingan. Akibat tekanan-tekanan tersebut, Belanda
mulai bersikap lunak kepada RI. Belanda menjanjikan niatnya untuk membuka
kembali perundingan untuk menyelesaikan masalah politik di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada
tanggal 19 Desember Belanda mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan
perjanjian Renville sehingga Belanda mulai melakukan serangan ke Yogyakarta
yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda II. Yogyakarta yang merupakan ibu
kota darurat Indonesia berhasil di kuasai oleh Belanda. Para tokoh dan
masyarakat berhaburan keluar kota untuk menyelamatkan diri dari tentara
Belanda. TNI melakukan perang gerilya untuk menghadapi Belanda dalam perjuangan
merebut kembali Yogyakarta.
Perang
gerilya yang dilakukan TNI dalam menghadapi Belanda ini berpusat di daerah
Bantul tepatnya di Desa Bibis. Masyarakat desa Bibis membantu tentara Indonesia
dalam perjuangannya. Bantuan yang diberikan berupa menyediakan makanan bagi
para tentara, menganggkut logistik, membuat perangka, dan juga memasang ranjau
di jalan-jalan yang di lalui tentara Belanda. Desa Bibis juga selain menjadi
markas dalam perang gerilya juga menjadi tempat bagi para pejuang untuk
mempersiapkan serangan untuk merebut Yogyakarta dan menunjukan bahwa TNI masih
tetap eksis. Serangan merebut yogyakarta ini dikenal dengan serangan umum 1
maret 1949, sehingga pada tahun 1977 di desa Bibis didirikan monumen peringatan
sebagai bukti bahwa di desa Bibis pernah dijadikan markas TNI dalam
mempersiapkan serangan untuk merebut kebali ibu kota Republik Indonsia
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku :
Amrin Imran. 1985. Selamat Pagi
Yogyakarta. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Notosusanto Noegroho (Ed). 1984. Sejarah Nasional Indonesia
Jilid VI. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Tashadi dkk. 1987. Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumber Wawancara :
Kesaksian dari bapak Sukardi, yang
merupakan anak dari kepala dukuh bibis waktu itu yaitu Bapak Harjo Wiyadi. Pak
Sukardi lahir pada 26 November 1936.
Wawancara pada bapak Dullah Prayitno
yang merupakan warga di Dukuh Bibis, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Beliau lahir tanggal 1 Dulkaidah tahun 1941.
Wawancara dengan bapak Samiarjo yang
merupakan warga di dukuh bibis, Bangunjiwo,
Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Beliau dilahirkan pada tahun 1949.
[2] Wawancara pada bapak
Dullah Prayitno yang merupakan warga di Dukuh Bibis, Bangunjiwo, Kasihan,
Bantul, Yogyakarta. Beliau lahir tanggal 1 Dulkaidah tahun 1941.
[3] Kesaksian dari bapak
Sukardi, yang merupakan anak dari kepala dukuh bibis waktu itu yaitu Bapak
Harjo Wiyadi. Pak Sukardi lahir pada 26 November 1936.
[4] Wawancara dengan
bapak Samiarjo yang merupakan warga di dukuh bibis, beliau
dilahirkan pada tahun 1949.
[5] Notosusanto Noegroho
(Ed),
1984, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, Jakarta: PN Balai Pustaka, hlm. 34.
[6] Tashadi dkk, 1987, Revolusi
Kemerdekaan 1945-1949 di Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan,
hlm.
30.
[7] Ricklefs, M.C, 1992, Sejarah
Indonesia Modern,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
hlm.
54.
Komentar
Posting Komentar