SUNAN KUDUS : SEORANG PANGLIMA DAN ULAMA

SUNAN KUDUS : SEORANG PANGLIMA DAN ULAMA
Disusun guna memenuhi  tugas Laporan KKL II
Dosen Pembimbing : Miftahudin, M.Hum
 









Kelompok :
1.      Didin Harianto             (09406244001)
2.      Dendy Yoga Ekatama  (09406244014)
3.      Asep Restu Nugraha    (09406244021)
4.      Rezky Atyka Wijaya    (09406244024)
5.      Ika Hendrawati          (09406244040)
6.      Restu Fajar Prakosa     (09406244049)


PENDIDIKAN SEJARAH/B
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, hidayah, serta inayahnya yang tercurah kepada kami  sehingga kami dapat menyusun laporan Kuliah Kerja Lapangan  yang berjudul “SUNAN KUDUS : SEORANG PANGLIMA DAN ULAMA” Sholawat dan salam tidak lupa kami tujukan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang senantiasa kita tunggu pertolongannya pada Yaumul Akhir.
Penulisan laporan ini disusun sebagai salah satu tugas Mata kuliah KKL II. Dengan laporan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai Sunan Kudus, dan laporan ini kami susun berdasarkan berbagai literatur yang kami baca dan sumber dari lapangan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan laporan hasil Kuliah Kerja Lapangan II ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kakurangan dalam penyusunan ini, maka dari itu kami memohon masukan-masukan yang konstruktif demi perbaikan selanjutnya. Demikian yang bisa kami sampaikan kurang lebihnya kami mohon maaf yang setulus-tulusnya.
                                                                                        Yogyakarta,  januari 2011


                                                                                         Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
            Sunan Kudus adalah putra dari Sunan Ngundung yang dalam tradisi Cirebonan disebut sebagai Sunan Undung putra saudara Sultan Mesir, adik Rara Dampul yang dikisahkan melihat bianglala yang sangat indah. Mereka mengikuti sinar indah sampa yang dikisahkan melihat bianglala yang sangat indah. Mereka mengikuti sinar indah sampai di pusat bumi yang kemudian disebut Cirebon. Keduanya menemui Syarif Hidayatullah dan melaporkan bahwa sinar negeri Cirebon terlihat sampai Mesir.[1] Pemuda Undung pergi berguru kepada Sunan Ampel dan kemudian menjadi murid yang disayangi dan dinikahkan dengan seorang cucunya yang bernama Syarifah. Dari perkawinan ini lahirlah Raden Fatihan atau Ja’far Shadiq yang kemudian lebih di kenal sebagai Sunan Kudus. Sunan Ngundung di Demak diangkat menjadi panglima perang dan gugur di medan laga melawan Majapahit. Ja’far Shadiq menggantikan kedudukan ayahnya sebagai panglima perang Demak.
            Sunan Kudus waktu menjadi panglima dari kerjaan Demak Bintoro merupakan panglima perang yang kelihaiannya sudah terbukti dengan membuka kerajaan Majapahit dan menaklukan Pengging yang dibawah pimpinan Adipati Handayaningrat. Sunan Kudus sebelum memulai membuka kerajaan Majapahit mulai memperhitungkan kekuatan tentara Islam dan juga meminta nasehat kepada Sunan Gunung Jati dan Sunan Bonang. Setelah peperangan ini, daerah kekuasaan kerajaan Demak Bintoro ke timur sampai Madura dan ke barat sampai Cirebon. Upaya penaklukan Pengging yang di pimpin oleh Adipati Handayaningrat oleh Sunan Kudus dilakukan setelah Ki Wanapala gagal memanggil  Handayaningrat ke Demak. Setelah tiga tahun lamanya waktu berlalu dan Handayaningrat tetap menolak panggilan raja untuk datang ke Demak, maka di utuslah Sunan Kudus untuk Menaklukan Pengging yang sudah melakukan pemberontakan terhadap kerajaan Demak dengan berusaha mendirikan kerajaan sendiri yang Handayaningrat yang akan menjadi rajanya. Karena keberaniannya Sunan Kudus diangkat sebagai Manggala Yuda kraton Demak Bintoro.[2] Sunan Kudus senantiasa menegakan disiplin, disamping itupun Sunan Kudus selalu taat kepada perintah atasan. Ketaatan dan keberaniannyalah yang menyebabkan Sunan Kudus ditakuti dan disegani oleh bawahannya dan oleh kawan atau lawan.
   Menurut cerita asal-usul nama Kabupaten Kudus bermula ketika Sunan Kudus pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab. Pada suatu hari, di tanah Arab terjangkit suatu wabah penyakit kudis yang membahayakan. Namun wabah penyakit itu dapat dilenyapkan Sunan Kudus. Oleh karena hal tersebut, seorang Amir di sana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada Sunan Kudus, akan tetapi di tolak oleh Sunan Kudus. Namun Sunan Kudus hanya mengambil sebuah batu untuk kenang-kenangan. Batu tersebut berasal dari kota Baitulmakdis atau Jerusaalem[3]. Untuk memperingati kota dimana Ja’far Shadiq hidup serta bertempat tinggal diberi nama “Kudus” dan masjid besarnya diberi nama Al-Manar atau Aqsa, seperti masjid suci Baitulmukadis bagian Islam.[4] Sebelum itu kadipaten kudus di dalam masyarakat sekitar lebih dikenal dengan nama kota Tajug.
Sebagaimana diketahui, bahwa Sunan Kudus itu adalah terhitung salah seorang Ulama. Guru besar agama yang telah mengajarkan serta menyiarkan agama Islam didaerah Kudus dan Nusantara. Sunan Kudus terkenal dengan keahlihanya dalam ilmu Hadist, tafsir, sastera mantiq. Karena itu Sunan Kudus diantara kesembilan wali, hanya Sunan Kudus saja yang terkenal sebagai “walijul ilmi”. Sunan Kudus merupakan salah satu guru besar yang sudah barang tentu mempunyai banyak murid serta kader-kader yang berada di berbagai pelosok daerahnya untuk menyebarluaskan agama Islam. Sehingga di dapati makam para wali yang termasuk murid Sunan Kudus yang telah berjasa ikut serta menyiarkan agama Islam di Nusantara. Sunan Kudus juga termasuk pujangga yang berinisiatif mengarang riwayat-riwayat pondok yang berisi filsafat serta berjiwa agama. Diantara buah ciptaanya yang telah dikenal, ialah Gending Maskumambang dan Mijil.[5]
     Sunan Kudus merupakan seorang panglima perang Demak yang sangat hebat dan selain itu juga Sunan Kudus juga merupakan soarang wali sanga yang sangat berjasa dalam proses pengislamisasian di nusantara sehingga kami tertarik dalam membahas mengenai Sunan Kudus.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah kami mengajukan rumusan masalah sebagai berikut ini:
1.      Siapa Sunan Kudus itu?
2.      Bagaimana proses Sunan Kudus bisa menjadi Panglima perang dari kerajaan Demak?
3.      Bagaiman cara yang dilakukan Sunan Kudus dalam penyebaran agama Islam di Nusantara?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui asal-usul dari Sunan Kudus.
2.      Mengetahui Sunan Kudus dalam waktu sebagai Panglima perang kerajaan Demak.
3.      Mengetahui cara yang dilakukan Sunan Kudus dalam penyebaran agama Islam di nusantara.

D.    Manfaat Penulisan
1.      Dapat memahami secara lebih jelas mengenai asal-usul dari Sunan Kudus.
2.      Dapat memahami proses penyebaran islam yang ada di nusantara.
3.      Dapat memahami sejarah kota kudus dan peranya dalam penyebaran islam di nusantara.
4.      Dapat memahami tentang filosofis dari peninggalan-peninggalan pada masa Sunan Kudus.

E.     Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian adalah ilmu yang membicarakan jalan mencakup jenis penulisan sejarah, unit kajian, permasalahan, teori, konsep dan sumber sejarah. Sedangkan metodologi sejarah adalah suatu cabang filsafat yang berhubungan dengan ilmu tentang metode atau prosedur; suatu sistem tentang metode-metode dan aturan-aturan yang digunakan dalam sains.[6]Nugroho Notosusanto mengajukan langkah-langkah dalam metode sejarah, yaitu:
1.      Heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau yang dikenal sebagai sumber-sumber sejarah. Dalam langkah ini kami penulis mengumpulkan sumber-sumber baik melalui diskusi, hasil observasi, buku-buku yang relevan dengan topik serta mendatanggi langsung makam Sunan Kudus di Kabupaten Kudus. Sumber-sumbernya adalah dari nara sumber atau informan yang ada di makam Sunan Kudus, Babad Demak yang di tulis oleh Dr. Purwadi, M.Hum dan Maharsi, SS, M.Hum, Islamisasi di Jawa yang di tulis oleh Drs. Ridin Sofwan, Drs. H. Wasit, Drs. H. Mundiri dan buku-buku lain.
2.      Kritik sumber adalah meneliti atau menyelidiki apakah jejak-jejak itu benar-benar sesuai atau tidak. Kritik sumber di dasarkan pada kritik extern dan kritik intern. Kritik extern adalah penerkaan mengenai tanggal kira-kira dari pada dokumen dan suatu identifikasi dari pada yang menurut dugaan adalah pengarangnya, sedangkan kritik intern merupakan sejarawan pertama kali memeriksa kesaksian dengan jalan memperoleh seperangkat unsur yang relevan bagi sesuatu topik atau persoalan yang ada dalam pikirannya. Unsur-unsur yang terpencil tidak memiliki konteks atau tidak cocok didalam suatu hipotesa, maka nilai mereka patut diragukan. Tetapi itu merupakan masalah Sintesa, yang akan dibicarakan kemudian.[7] Dalam tulisan ini kami melakukan kegiatan meneliti bahan-bahan dengan melakukan perbandingan dari sumber-sumber yang telah di kumpulkan yang terkait dengan Sunan Kudus.
3.      Interprestasi adalah menetapkan makna yang berhubungan dari fakta-fakta sejarah yang telah berhasil di kumpulkan setelah diterapkan kritik intern dan ekstren dari data-data yang sudah di dapatkan. Penulis merangkai data-data yang saling berhubungan dengan judul laporan sehingga menjadi tulisan sejarah.
4.      Penyajian adalah menyampaikan sintesa atas hasil penelitian yang telah di lakukan dalam hal ini diperlukan imajinasi historis yang baik, sehingga fakta-fakta sejarah dapat disajikan secara menyeluruh.

F.     Sistematika Pembahasan
Agar lebih memahami isi yang akan dibahas dalam laporan ini, maka penulis memberikan sistematika dalam pembahasan penelitian:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini dijelaskan latar belakang masalah yang terkait dengan asal-usul Sunan Kudus, Sunan Kudus menjadi panglima perang di Demak mengantikan ayahnya, asal mula nama kudus di berikan kepada kota tempat tinggal yang pernah di tinggali Sunan Kudus. Bab ini juga mencakup mengenai talasan penulis dalam memilih judul Sunan Kudus seorang Panglima Perang dan Ulama karena adanya kertetarikan penulis dalam membahas mengenai Sunan Kudus. Rumusan masalah yang ada dalam laporan akan menjadikan laporan ini menjadi fokus dan memperjelasnya. Metode penelitian yang di pakai dalam penulisan laporan ini sesuai dengan metodologi sejarah. Harapan penulis atas penulisan laporan ini tetuang dalam tujuan dan manfaat penelitian.
BAB II ASAL-USUL SUNAN KUDUS DAN PANGLIMA PERANG
Pada bab ini akan memberikan gambaran mengenai asal-usul dari Sunan Kudus. Pemuda Undung pergi berguru kepada Sunan Ampel dan kemudian menjadi murid yang disayangi dan dinikahkan dengan seorang cucunya yang bernama Syarifah. Dari perkawinan ini lahirlah Raden Fatihan atau Ja’far Shadiq yang kemudian lebih di kenal sebagai Sunan Kudus.
            Sunan Ngundung di Demak diangkat menjadi panglima perang dan gugur di medan laga melawan Majapahit. Ja’far Shadiq atau lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus menggantikan kedudukan ayahnya menjadi seorang panglima perang Demak. Saat Sunan Kudus menjadi seorang panglima perang Sunan Kudus sangatlah hebat dalam menghadapai musuh-musuhnya.
BAB III SUNAN KUDUS SEORANG ULAMA
   Sunan Kudus termasuk Guru Besar agama yang telah mengajar dan menyiarkan agama islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Sunan Kudus dalam proses penyamapaian agama Islam menggunakan pendekatan yang halus sehingga dalam prosesnya tidak membuat agama lain terganggu dengan datang agama islam yang di bawa oleh Sunan Kudus. Sunan Kudus mempunyai banyak murid serta kader-kader di berbagai pelosok daerahnya untuk bisa menyiarkan agama islam keseluruh daerah.
BAB IV PENUTUP
Isi dari bab ini adalah mengenai kesimpulan dari keseluruhan pembahsan bab-bab yang sebelumnya.






BAB II

SUNAN KUDUS SEBAGAI  PANGLIMA PERANG DI DEMAK

A.    Sunan Kudus
Dalam penyebaran agama islam ditanah jawa yang menjadi daerah penyebaranya adalah di daerah pesisir utara dari pulau  jawa sejak dari Gresik, Tuban, Ampel, Cirebon dan Banten. Hanya Demak dan Kudus yang jauh letaknya dari pesisir, akan tetapi bagi Demak waktu itu perhubungan melalui laut tidaklah sulit, karena melalui sungai merupakan jalan yang menghubungkan atara Demak dengan daerah pesisir lainya. Demikian juga dengan Kudus. Ada sungai yang menghubungkan dengan laut yaitu sebelah barat Tanggulangin dan sebelah timur ialah sungai juwana.[8] Nama Sunan Kudus adalah Dja’far Shadiq, dan ketika beliau memimpin rombongan haji mendapat gelar dengan julukan  R. Amir Hadji dan nama kecilnya menurut riwayat adalah Raden Undung.
   Sunan Kudus adalah adik ipar dari pada Sunan Muria karena Dewi Sudjinah, isteri Dunan Muria adalah kakak kandung Sunan Kudus. Konon katanya sebelum Sunan Kudus datang ke Kudus ada seorang yang sudah menjadi tokoh tua di Kudus beliau adalah Mbah Kyai Telingsing. Kyai Telingsing inilah yang menyerahkan kota kudus kepada Sunan Kudus. Makam dari Kyai Telingsing ada di kampung Sunggingan dan menurut cerita beliau merupakan seorang Tionghoa yang telah masuk islam. Kata Telingsing adalah singkatan dari nama Tionghoa : The Ling Sing. Beliau merupakan seorang pemahat yang termasuk dalam aliran Sun Ging, seorang pemahat Tionghoa yang terkenal yang telah masuk Islam.
   Menurut silsilah Sunan kudus ada Dja’far Shadiq itu ialah putera dari R. Usman Haji yang bergelar Sunan Ngundung di Djipan-panolan. Usman Hadji bin Raja Pendeta bin Ibrahim Asmarakandi (asmarakandi adalah dari  kata Samarkand, sebuah kota di republik Ubzbekistan). Ibrahim Asmarakandi bin Zaini al Kubra bin Zainul Aliem bin Zainul Abidin bin Sajid Chusain bin Ali. Dikisahkan bahwa Undung dan Rara Dampul melihat bianglala yang sangat indah dan mengikuti sinar dari bianglala sampai tiba di pusat bumi yang disebut Cirebon, negara tempat tinggal Syarif Hidayatullah.[9] Keduanya menemui Syarif Hidayatullah yang teryata masih saudara sepupu. Mereka melapor bahwa sinar negeri Cirebon terlihat sampai di Mesir dan mereka berniat untuk tinggal di Cirebon.
   Syarif Hidayatullah  menyarankan Pemuda Undung untuk pergi berguru pada Sunan Ampel, dan kemudian ia menjadi murid yang disanyanginya.[10] Sunan Ampel kemudian mengawinkan Undung dengan seorang cucunya yang bernama Syarifah, anak Sunan Ampel yang bernama Ny. Ageng Maloka, adik Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Raden Fatihan Atau Ja’far Shadiq, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus setelah Meninggal.
   Sunan Kudus menikah dengan Dewi Richil, putri dari Raden Makdum Ibrahim, Kanjeng Sunan Di Tuban. Raden Makdum Ibrahim putra Raden Rahmat (Sunan Ampel) Putra Maulana Ibrahim Asmarakandi : hingga disini bertemulah silsilah Sunan Kudus dengan isterinya. Dengan Demikian maka Sunan Kudus itu adalah menantunya Kanjeng Sunan Bonang.
   Dalam perkawinannya dengan Dewi Richil ini Sunan Kudus hanya mendapatkan seorang putra laki-laki yang diberinya nama Amir Hasan. Setengah riwayat mengatakan, bahwa dalam perkawinannya dengan putri Pangeran Pedjat Tandaterung dari Majapahit, Sunan Kudus di kabarkan memperoleh 8 orang putra yaitu :
1.      Nyi Ageng Pembayun
2.      Panembahan Palembang
3.      Penembahan Mekaos Honggokusumo
4.      Panembahan Kodhi
5.      Panembahan Karimun
6.      Panembahan Joko
7.      Ratu Pakojo
8.      Ratu Prodobinabar.
Diantara kedelapan orang yang tersebut diatas hanya 4 orang yang kini makamnya dikenal orang disekitar makam Sunan Kudus. Keempat orang itu adalah Panembahan Palembang, Panembahan Mekaos, Pangeran Potjowati dan Pageran Sudjoko.[11]

B.     Sunan Kudus Seorang Panglima Perang Kerajaan Demak
1.      Membuka Kerajaan Majapahit
Setelah Sunan Ngundung gugur di medan perang melawan Majapahit. Setelah ayahnya wafat dalam peperangan Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq mennggantkan kedudukan ayahnya. Atas perintah dari Sunan Bonang, waknya yang menjadi Ketua Dewan Walisongo, Sunan Kudus diangkat menjadi panglima perang tertinggi bertugas menaklukan Majapahit. Sunan Kudus merupakan panglima perang yang cakap. Sebelum penyerangan Majapahit di mulai, Sunan Kudus memperhitungkan tentara Islam.
Setelah mendapat nasehat dari Sunan Gunung Jati dan Sunan Bonang yang meberi nasehat, bila ia tiba ditengah pasukannya agar Badong itu dibawa mengelilingi pasukan yang dipimpinnya dan selain itu juga membawa keliling di tengah pasukan peti bertuah dari Palembang. Sesuai saran Sunan Bonang agar ia menghubungi para Bupati yang telah menganut Islam, Yakni Bupati Madura, Adipati Sumenep, ke Giri dan menyatukan penjajahan Majapahit yang telah masuk Islam. Juga dihubungi Adipati Pamekasan, Belega dan Panaraga untuk bersatu menggempur Majapahit.[12]
       Sampai di medan  pertempuran, badong pemberian Sunan Gunung Jati kemudian ia bawa keliling dan keluarlah tikus yang tidak terkira banyaknya bergerak laksana banjir melanda perkemahan tentara Majapahit. Tikus yang tidak diketahui oleh musuh dari mana datangnya itu melahap habis pembekalan ketentaraan, dengan beringas menyambar tombak dan kemudian menghilang. Pakaian prajurit, peralatan kuda, kendali dan apus dirusaknya. Bila kebetulan kena pukul prajurit, ia tidak mati tapi malah tambah ganas berlarian kesana kemari dalam perkemahan yang membuat tentara Majapahit kebingungan.
   Pada esok harinya kedua pasukan bertemu, tentara Islam di pimpin Sunan Kudus dan tentara Majapahit oleh Adipati Terung yang bergelar Pecattanda. Sunan Kudus kemudian memerintahkan seorang prajurit untuk membuka peti dari Palembang, kemudian keluarlah suara menggelgar ke langit, lebah kepala berjuta-juta banyaknya menutup sinar sinar matahari bagai mendung. Seperti angin ribut yang menerjang lebah itu berbondong-bondong menyengat prajurit Majapahit yang tidak sempat menghindar dan tentara-tentara itu berlarian mencari selamat. Lebah itu hilang ketika mendekati gerbang Majapahit karena kesaktian Raja Brawijaya. Sampai disini prajurit Islam menjumpai pintu terkunci.
Mereka mengepung istana raja. Atas kesaktian Raja Brawijaya, Kyai Kalamunyeng, pusaka Majapahit, terbang berputar mengelilingi benteng. Setiap prajurit gabungan Demak akan melompati tembok, dengan ganas diterjangnya sehingga banyak tentara Islam yang tewas. Musibah ini diberitahukan kepada Sunan Kudus, namun ia tidak kuasa untuk menandinginya. Ia kemudian menyerahkan masalah itu kepada Sunan Giri yang kemudian mengajak semua wali untuk membaca takbir bersama-sama. Selama adzan dikumandangkan, keris  itu tetap menerjang tetapi segera terbang berbalik sebelum mengenai korbanya.[13] Para wali melihat keris itu berbentuk cahaya, dan karena diketahui musuhnya, keris itu tidak kuasa terbang dan tidak menerjang lagi. Tentara gabungan Demak kemudian masuk ke istana dan didapati Raja Brawijaya eserta pegawainya yang setia pergi.
       Sunan Kudus mengambil rampasan perang atas saran Sunan Giri. Oleh Sunan Giri keris  Ki Sangkelet dan Mesanular, diserahkan Sunan Kudus untuk diberikan kepada Adipati Demak. Sunan Kudus memberi perintah untuk mengumpulkan para prajurit Majapahit yang lolos dan bila tidak mau mematuhi akan di bunuh, selain itu juga memerintahkan Adipati Surengkuwuh untuk melakukan ekspansi ke wilayah timur, yakni menaklukan Tandes dan Blambangan. Adipati Sumenep, Baliga dan juga Adipati pesisir lainya agar menaklukan Madiun dan Jagara. Setelah peperangan selesai, daerah kekuasaan Demak ke timur samapai Madura dan ke barat sampai Cirebon. Setelah itu, Sunan Kudus menyelesaikan sisa-sisa kekuatan Majapahit yang dipimpin Adipati Terung. Majapahit dikepung. Adipati Terung menulis surat kepada Sunan Kudus berisi pernyataan kalah perang, dan ia bersedia menerima hukuman.
       Selanjutnya, Sunan Kudus memberi perintah kepada para prajurit agar membawa pulang ke Demak bangunan peradilan Majapahit yang digunakan sebagai serambi Masjid Demak. Setelah sampai di Demak Suinan Kudus di sambut oleh Baginda Adipati Demak dan para wali. Sunan Kudus juga melaporkan juga tugas yang telah diselesaikannya kepada Sunan Bonang, sedangkan keris Kalamunyeng masih dirawat Sunan Giri.

2.      Menaklukkan Pengging
   Kelihaian Sunan Kudus sebagai seorang Panglima Perang tidak hanya terbukti ketika membuka Majapahit tapi juga waktu mengalahkan Adipati Handayaningrat yang berniat mendirikan negara yang bebas dari kekuasaan Demak. Meskipun bupati dalam wilayah Demak banyak bupati tetapi tidak ada yang seperti Handayaningrat. Kekeuatan Pengging di bawah Kebo kenanga, yang bergelar Pangeran Handayaningrat, menguasai daerah-daerah di luar Pengging. Ki kebo kenanga, bersama dngan ki ageng tingkir dalah pengikut Siti Jenar yang setia. Ki ageng tingkir yang berdiam di ngadipurwo begitu tekun beribadah siang dan malam di gunakan usianya untuk mengagungkan tuhan dengan meninggalkan kenikmatan badani.
   Baginda sultan demak mengetahui apa yang sedang di bangun pengging oleh kebo kenango, ternyata tidak  hanya membangun padepokan untuk menyebarkan agama, tetapi membangun untuk mendirikan negara merdeka. Demak mengutus mengutus ki wanapala menyelesaikan kasus ki kebo kenongo. Ia datang membawa tiga pesan. Pertama menyanyakan tujuan kebo kenango mendirikan padepokan, apakah semata-mata untuk menyebarkan agama mengabdi kepada tuhan atau latar belakang politik menyaingi demak. Kedua, sultan demak menyadari bahwa dia adalah kerabat sultan, jika ada masalah yang mengganjal dapat di bicarakan baik-baik. Ketiga, kenapa sudah beberapa lama tidak menghadap ke demak.[14] Terjadi perdebatan seru di pengging, keduanya saling mengalahkan perdebatan tanpa berakhir. Waktu berjalan tiga tahun dan kebo kenango belum juga menghadap ke demak, keadaan ini menyakinkan sultan demak bahwa kebo kenongo telah makar dari negara yang sah, baginda lantas mengutus sunan kudus untuk menyelesaikan masalah ini, dia berangkat di sertai tujuh pengikutnya dan membawa bende kiyai macan pemberian mertuanya Adipati Terung. Sunan kudus melanjutkan perjalanan lurus ke arah selatan. Ketika sudah dekat dengan istana sunan kudus bertanya kepada salah seorang warga. Penduduk menjawabnya ya, bahkan memberikan informasi tambahan kepada sunan kudus, bahwa ki ageng pengging dalam keadaan prihatin. Sedih hatinya karana kematian kakak seperguruannya yaitu ki ageng tingkir.
Sunan Kudus masuk ke istana, tetapi tujuh temannya di tinggal di luar benteng dengan memberi pesan agar bende di tabuh bila mau memberi isyarat nanti. Setelah masuk sunan menayakan kehendak adipati handayaningrat tentang maksud mendirikan padepokan dan tidak bersedia menghadap raja demak. Sunan Kudus lalu berkata, “Kyai Ageng Pengging, sang prabu memanggilmu. Engkau pilih yang mana, di luar atau di dalam. Di bawah atau di atas? Ki Ageng berujar, “ Di dalam atau di luar, di atas atau di bawah, semua itu aku tidak memilih. Aku tidak mau memilih! Kalau memilih di itu namanya sirik, kalau memilih di luar malah akan lebih terjerumus. Sama saja kalau aku memilih di luar malah akan lebih terjerumus dan kalau aku melih di atas akan mulia, kalu memilih di bawah akan kebingunggan mencari tujuan. Di luar, di dalam, di atas ataupun di bawah bukanlah milikku.[15] Namun handayaningrat tidak berubah pendiriannya, ketika menjawab pertanyaan sunan kudus apakah ingin menjadi raja atau menjadi warga negara, memilih di atas berarti memilih suka di hormati sedang kan memilih di bawah pastilah ada salahnya.
   Sunan kudus bersedia menerima permohonan terakhir handayaningrat segara pisau di keluarakan dan sikut handayaningrat di sayat,kemudian jatuh dan wafat. Sunan kudus segera keluar dari istana seluruh kadipaten menjadi gaduh dan prajurit siap bertempur mereka mengejar sunan kudus dengan membawa perlengkapan perangnya. Sunan Kudus, berpesan kepadanya untuk berhati-hati. Ia melambaikan tangannya ke arah timur. Ketika tetara Sunan Kudus hilang di telan malam, ada yang menerka bahwa mereka lari ke utara maupun ke selatan. Tapi kenyataannya mereka tidak lari ke utara maupun ke selatan.ketika Sunan Kudus sudah sampai Kali Pepe, mereka duduk di tepi utara.
Sunan Kudus kasihan kepada tentara Pengging karena mereka sudah tidak punya pemimpin lagi. Lalu Sunan Kudus melambaikan kerisnya ke arah tenggara, lalu para tentara Penging pun menyerang ke tenggara. Namun musuh tidak ada yang di tenggara. Hingga mereka pun sampai di Kali Pepe. Dendam mereka pun hilang karena musuh mereka musnah, dan para prajurit Pengging pulang dan mengurus jenazah serta menguburkan pemimpinnya.


BAB III
SUNAN KUDUS SEORANG ULAMA

A.    Cara Sunan Kudus Dalam Menyebarkan Agama Islam
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk hindu penduduknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran atau padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha, mengingatkan kita kepada salah satu pembelajaran Budha yang pertama yang diberikan di Banares India.[16] Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Sunan Kudus memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid, misalnya Kanjeng Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi pada hari raya Idul Qurban.[17] Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus.
   Adapun Imam Ja'far Sodiq yang terkenal di Iran itu tidak saja sebagai seorang imam dari kaum Syi'ah, akan tetapi juga sebagai seorang yang terkemuka di dalam soal-soal hukum maupun ilmu pengetahuan lainnya. Dengan demikian, maka menurut hemat kita Ja'far Sodiq yang terkenal di Iran sebagai seorang wali, seorang imam dari golongan Syi'ah yang amat dipuja serta dihormati itu, kiranya bukanlah Ja'far Sodiq seorang wali yang menjadi salah seorang anggota dari kesembilan wali di Jawa. Kajeng Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dikapitayankan sebagai tokoh yang kawentar dengan seribu satu kesaktian. Kanjeng Sunan Kudus dikatakannya sebagai seorang wali yang sakti, yang dapat berbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.[18] Disamping bertindak sebagai guru agama Islam. juga sebagai salah seorang yang kuat syariatnya, Sunan Kudus pun menjadi senopati dari kerajaan Islam di Demak Antara lain yang termasuk bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya diKudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan masjid menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah arab, kemudian beliaupun mengajar pula di sana.
   Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit mana kemudian menjadi reda, berkat jasa sunan kudus, oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadian kepada beliau. akan tetapi beliau menolak,hanya kenang-kenangan beliau meminta sebuah batu. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus. Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan menara Kudus.
Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertempuran, Kebo Kenanga tewas. Namun, peranan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang semakin redup. Setelah pembangunan masjid Demak dan serambi kerajaan Majapahit yang pantas digunakan sebagai masjid, maka di usunglah Serambi Majapahit. Setelah serambi itu selesai, Sunan Bonang berpikir siapa yang menjadi Imam.
Para wali ditanyai oleh Sunan Bonang apakah ada diantara mereka yang mau menjadi imam. Semua menjawab sebaiknya Sunan Bonang yang menjadi Imam. Tetapi Sunan Bonang tidak mau dan menjawab mau menjadi Khatib yang menjaga. Seh Malaya kemudian dipilihmenjadi bawahannya. Sunan Bonang berkata, “Kalau demikian Sunan Kudus yang kutunjuk menjadi Penghulu”. Sunan Kuus menyanggupi tidak menolak sang Yogi. [19]Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak menjabat panglima lagi, melainkan menjadi imam masjid di Demak. Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan Kalijaga.
Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru. Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana.Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, nama yang lebih tua bagi tempat itu adalah Tajug.[20] Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing.[21] Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan.
Di Tajug, Ja'far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak, sekaligus para tentara yang ikut bersama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Sehingga bisa ditafsirkan pekerjaan lain sunan kudus adalah petani.Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut. Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi[22].
Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem. Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.
Semasa hidupnya Sunan Kudus mengajarkan agama Islam disekitar daerah Kudus khususnya dan di Jawa Tengah pesisir utara pada umumnya. beliau terhitung salah seorang ulama, guru besar agama yang telah mengajar serta menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. terkenal dengan keahliannya dalam ilmu agama. terutama dalam Ilmu Tauhid, Usul , Hadits, Sastra Mantiq dan lebih-lebih di dalam Ilmu Fiqih. Oleh sebab itu beliau digelari dengan sebutan sebagai Waliyyul 'Ilmi. Menurut riwayat beliau juga termasuk salah seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita pendek yang berisi filsafat serta berjiwa agama. diantara buah ciptaannya yang terkenal, ialah Gending Maskumambang dan Mijil.
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa. Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.

B.     Peninggalan Sunan Kudus
1.      Masjid
Semasa hidupnya Sunan Kudus telah berjasa dalam mendirikan masjid Agung dikota Kudus yang kemudian lebih dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus. Jika dilihat dari batu tulis yang terletak diatas tempat pengimaman masjid, yang bertuliskan dan berbahasa Arab, menunjukan bahwa mesjid dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 956 Hidjriyah. Batu itu berprisai yang ukurannya dengan prisainya adalah panjang 46 cm dan lebar 30 cm. Kalau tanpa prisai panjang 41 cm dan lebar 23,5 cm. Konon kabarnya batu itu bersal dari kota Baitulmakdis (al Quds) di Jeruzalem Palestina.[23]
Mesjid Menara Kudus terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari pada 5 buah dan tiang besar didalam mesjid yang berasal dari kayu jati 8 buah. Kolam masjid yang terletak sebelah selatan juga termasuk peninggalan jaman purba. Kolam berbentuk padasan tempat mengambil air wudlu mempunyai 8 buah lubang dan diatasnya terdapat ukiran berbentuk kepala arca sebanyak 8 buah yang mengingatkan kita kepada salah satu pelajaran Budha yang pertama diberikan pada para siswa di Banares (India) yaitu ASTASANGHIKAMARGA yang artinya delapan jalan utama.[24] Didalam masjid terdapat pula sebuah pintu gapura kecil dan diserambi depan terdapat pula sebuah pintu gapura yang penduduk mengenalnya dengan “Lawang Kembar” yang menurut cerita pintu gapura itu berasal dari bekas kerajaan Majapahit.
Menurut cerita sebenarnya masjid Sunan Kudus yang tertua itu adalah masjid Nganguk yang kemudian hingga kini terkenal dengan sebutan “Masjid Wali”. Dan desa tersebut kemudian dikenal juga dengan sebutan “Nganguk Wali”.
2.      Menara
Sejarah mengenai menara kudus ada 2 macam. Sebagian orang mengatakan, bahwa menara kudus dahulu sebelum kedatangan Islam ditanah Jawa merupakan tempat pembakaran mayat para raja-raja atau kaum bangsawan. Ada pula yang mengatakan, bahwa konon kabarnya pada jaman dahulu itu di bawah menara terdapat sebuah kawah tempat pembuangan atau penyimpanan abu para nenek moyang kita, yang berarti merupakan bekas candi peninggalan Hindu.[25] Dilihat dari segi archeologis bahwa menara Kudus merupakan paduan antara seni Hindu dan Islam.
Dilihat dari segi historis, bahwa kedatangan Islam ketanah Jawa adalah didahului oleh kedatangan agama-agama Budha dan Hindu. Dilihat dari segi filosofis adalah dengan didirikannya menara Kudus diartikan sebagai tanda untuk mematikan kepercayaan lama, mengakhiri masa untuk mendewa-dewakan raja sebagai Tuhan.[26] Menara yang dahulu dijadikan tempat memuja arwah dan ruh raja-raja kini dijadikan tempat untuk menyeru sembahyang.
BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
   Sunan Kudus adalah putra dari Sunan Ngundung yang dalam tradisi Cirebonan disebut sebagai Sunan Undung putra saudara Sultan Mesir, adik Rara Dampul yang dikisahkan melihat bianglala yang sangat indah. Pemuda Undung pergi berguru kepadapada Sunan Ampel dan kemudian menjadi murid yang disayangi dan dinikahkan dengan seorang cucunya yang bernama Syarifah. Dari perkawinan ini lahirlah Raden Fatihan atau Ja’far Shadiq yang kemudian di kenal sebagai Sunan Kudus.
   Sunan Kudus atau Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sebelum perang, Ja'far Shodiq diberi badong (semacam baju zirah) oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu digunakan di medan perang. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak. Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far Shodiq makin kokoh.
   Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha, terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran atau padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, Sunan Kudus sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
   Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi di hari Qurban. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat lebih tertarik untuk mengikuti kisah kelanjutannya.
   Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Semasa hidupnya Sunan Kudus mengajarkan agama Islam disekitar daerah Kudus khususnya dan di Jawa Tengah pesisir utara. Sunan Kudus terhitung salah seorang ulama, guru besar agama yang telah mengajar serta menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya.



B.     SARAN
Kami menyadari bahwa penyusunan laporan KKL II  ini masih banyak kesalahan dan sangat jauh dari sempurna,oleh karena itu kami meminta kritik dan saran yang bersifat membangun agar kami dapat memperbaikinya. Harapan kami semoga laporan ini dapat bermanfaat terutama bagi pembacanya,Demikian penyusunan laporan KKL II ini apabila banyak kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja kami mohon maaf yang setulus-tulusnya.











DAFTAR PUSTAKA
Dr. Purwadi, M,Hum,2008.Kraton Panjang.Yogyakarta: Panji Pustaka.
Drs. Ridin Sofwan dkk, 2000. Islamisasi di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999. Masjid Kuno Indonesia. Jakarta: proyek pembinaan peninggalan sejarah dan kepurbakalaan pusat.
De Graff, HJ dan Th.G.Th. Pigeaud, 1985. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.
Dr. Purwadi, M.Hum dan Maharsi, SS, M.Hum, 2005. Babad Demak. Yogyakarta: Tunas Harapan.
Gottschalk, Louis, 1969. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
R. Moh. Ali,1963.Perjuangan Feodal.Bandung: Ganco nv.
Rahimsyah, M.B. Kisah Walisongo. Surabaya: Gali Ilmu.
Riyadi, Slamet dan Suwaji,1981.Babad Demak I.Jakarta: Proyek penerbitan buku sastra indonesia dan daerah.
Salam, Solichin, 1959. Sunan Kudus. Kudus: Menara Kudus.
Sjamsuddin,Helius,2007.Metodologi Sejarah.Yogyakarta: Ombak.



[1] Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi di Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) , hlm. 127.
[2] Purwadi, dan Maharsi, Babad Demak, (Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005). Hlm. 135.
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Masji Kuno Indonesia, (Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Keperbukalaan Pusat, 1999), hlm. 157.
[4] Hj. De Graaf dan Th.g.Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, (Jakarta: PT Pustaka Grafitypers, 1985), hlm. 117.
[5] Solichin Salam,  Sunan Kudus, (Kudus: Menara Kudus, 1959), hlm. 16.
[6] Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah, (Yokyakarta: Ombak, 2007), hlm. 14.
[7] Louis Gonttschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1969), hlm. 94-95.
[8] Ibid., hlm. 13.
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm. 128.
[11] Ibid., hlm. 16.
[12] R. Moh Ali, Perjuangan Feodal, (Bandung: GANACO NV, 1963), hlm. 85.

[13] Ibid., hlm. 129-130.
[14] Ibid., hlm. 132- 134.
[15] Purwadi, Kraton Pajang, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008), hlm. 92.
[16] Ibid., hlm. 21.
[17] Ibid., hlm. 136.

[18] Ibid., hlm. 137.
[19] Adila Suwarmo, Babad Tanah Jawi, (Jakarta: Amanah Lontar, 2004), hlm. 118-119.
[20] Ibid., hlm. 115.
[21] Ibid., hlm. 132.
[22] Ibid., hlm. 156.
[23] Ibid., hlm. 18.
[24] Ibid., hlm. 21.
[25] Ibid., hlm. 24.
[26] Ibid., hlm. 26.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naturalisme, Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Eksistensialisme

HISTORIOAGRAFI EROPA PADA ABAD PERTENGAHAN

PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU