SUNAN KUDUS : SEORANG PANGLIMA DAN ULAMA
SUNAN KUDUS : SEORANG PANGLIMA DAN
ULAMA
Disusun guna memenuhi tugas Laporan KKL II
Dosen Pembimbing : Miftahudin,
M.Hum
Kelompok :
1.
Didin
Harianto (09406244001)
2.
Dendy
Yoga Ekatama (09406244014)
3.
Asep
Restu Nugraha (09406244021)
4.
Rezky
Atyka Wijaya (09406244024)
5.
Ika
Hendrawati (09406244040)
6.
Restu Fajar Prakosa (09406244049)
PENDIDIKAN SEJARAH/B
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Puji
syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, hidayah, serta
inayahnya yang tercurah kepada kami
sehingga kami dapat menyusun laporan Kuliah Kerja Lapangan yang berjudul “SUNAN KUDUS : SEORANG PANGLIMA DAN ULAMA” Sholawat dan salam
tidak lupa kami tujukan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang
senantiasa kita tunggu pertolongannya pada Yaumul Akhir.
Penulisan laporan ini disusun sebagai
salah satu tugas Mata kuliah KKL II. Dengan laporan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai Sunan Kudus, dan laporan ini kami susun
berdasarkan berbagai literatur yang
kami baca dan sumber dari lapangan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan laporan
hasil Kuliah Kerja Lapangan II ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan-kakurangan dalam penyusunan ini, maka dari itu kami memohon
masukan-masukan yang konstruktif demi perbaikan selanjutnya. Demikian yang bisa
kami sampaikan kurang lebihnya kami mohon maaf yang setulus-tulusnya.
Yogyakarta, januari 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sunan
Kudus adalah putra dari Sunan Ngundung yang dalam tradisi Cirebonan disebut
sebagai Sunan Undung putra saudara Sultan Mesir, adik Rara Dampul yang
dikisahkan melihat bianglala yang sangat indah. Mereka mengikuti sinar indah
sampa yang dikisahkan melihat
bianglala yang sangat indah. Mereka mengikuti sinar indah sampai di pusat bumi
yang kemudian disebut Cirebon. Keduanya menemui Syarif Hidayatullah dan
melaporkan bahwa sinar negeri Cirebon terlihat sampai Mesir.[1]
Pemuda Undung pergi berguru kepada Sunan Ampel dan kemudian menjadi murid yang
disayangi dan dinikahkan dengan seorang cucunya yang bernama Syarifah. Dari
perkawinan ini lahirlah Raden Fatihan atau Ja’far Shadiq yang kemudian lebih di
kenal sebagai Sunan Kudus. Sunan Ngundung di Demak diangkat menjadi panglima
perang dan gugur di medan laga melawan Majapahit. Ja’far Shadiq menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai panglima perang Demak.
Sunan Kudus waktu menjadi panglima
dari kerjaan Demak Bintoro merupakan panglima perang yang kelihaiannya sudah
terbukti dengan membuka kerajaan Majapahit dan menaklukan Pengging yang dibawah
pimpinan Adipati Handayaningrat. Sunan Kudus sebelum memulai membuka kerajaan
Majapahit mulai memperhitungkan kekuatan tentara Islam dan juga meminta nasehat
kepada Sunan Gunung Jati dan Sunan Bonang. Setelah peperangan ini, daerah
kekuasaan kerajaan Demak Bintoro ke timur sampai Madura dan ke barat sampai
Cirebon. Upaya penaklukan Pengging yang di pimpin oleh Adipati Handayaningrat
oleh Sunan Kudus dilakukan setelah Ki Wanapala gagal memanggil Handayaningrat ke Demak. Setelah tiga tahun
lamanya waktu berlalu dan Handayaningrat tetap menolak panggilan raja untuk
datang ke Demak, maka di utuslah Sunan Kudus untuk Menaklukan Pengging yang
sudah melakukan pemberontakan terhadap kerajaan Demak dengan berusaha
mendirikan kerajaan sendiri yang Handayaningrat yang akan menjadi rajanya.
Karena keberaniannya Sunan Kudus diangkat sebagai Manggala Yuda kraton Demak
Bintoro.[2]
Sunan Kudus senantiasa menegakan disiplin, disamping itupun Sunan Kudus selalu
taat kepada perintah atasan. Ketaatan dan keberaniannyalah yang menyebabkan
Sunan Kudus ditakuti dan disegani oleh bawahannya dan oleh kawan atau lawan.
Menurut cerita asal-usul nama Kabupaten Kudus
bermula ketika Sunan Kudus pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab.
Pada suatu hari, di tanah Arab terjangkit
suatu wabah penyakit kudis yang membahayakan. Namun wabah penyakit itu dapat
dilenyapkan Sunan Kudus. Oleh karena hal tersebut, seorang Amir di sana
berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada Sunan Kudus, akan tetapi di tolak
oleh Sunan Kudus. Namun Sunan Kudus hanya mengambil sebuah batu untuk
kenang-kenangan. Batu
tersebut berasal dari kota Baitulmakdis atau Jerusaalem[3].
Untuk memperingati kota dimana Ja’far Shadiq hidup serta bertempat tinggal
diberi nama “Kudus” dan masjid besarnya diberi nama Al-Manar atau Aqsa, seperti
masjid suci Baitulmukadis bagian Islam.[4]
Sebelum itu kadipaten kudus di dalam masyarakat sekitar lebih dikenal dengan
nama kota Tajug.
Sebagaimana
diketahui, bahwa Sunan Kudus itu adalah terhitung salah seorang Ulama. Guru
besar agama yang telah mengajarkan serta menyiarkan agama Islam didaerah Kudus
dan Nusantara. Sunan Kudus terkenal dengan keahlihanya dalam ilmu Hadist,
tafsir, sastera mantiq. Karena itu Sunan Kudus diantara kesembilan wali, hanya
Sunan Kudus saja yang terkenal sebagai “walijul ilmi”. Sunan Kudus merupakan
salah satu guru besar yang sudah barang tentu mempunyai banyak murid serta kader-kader
yang berada di berbagai pelosok daerahnya untuk menyebarluaskan agama Islam.
Sehingga di dapati makam para wali yang termasuk murid Sunan Kudus yang telah
berjasa ikut serta menyiarkan agama Islam di Nusantara. Sunan Kudus juga
termasuk pujangga yang berinisiatif mengarang riwayat-riwayat pondok yang
berisi filsafat serta berjiwa agama. Diantara buah ciptaanya yang telah
dikenal, ialah Gending Maskumambang dan Mijil.[5]
Sunan
Kudus merupakan seorang panglima perang Demak yang sangat hebat dan selain itu
juga Sunan Kudus juga merupakan soarang wali sanga yang sangat berjasa dalam
proses pengislamisasian di nusantara sehingga kami tertarik dalam membahas
mengenai Sunan Kudus.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah kami mengajukan rumusan
masalah sebagai berikut ini:
1. Siapa
Sunan Kudus itu?
2. Bagaimana
proses Sunan Kudus bisa menjadi Panglima perang dari kerajaan Demak?
3. Bagaiman
cara yang dilakukan Sunan Kudus dalam penyebaran agama Islam di Nusantara?
C. Tujuan
1. Mengetahui
asal-usul dari Sunan Kudus.
2. Mengetahui
Sunan Kudus dalam waktu sebagai Panglima perang kerajaan Demak.
3. Mengetahui
cara yang dilakukan Sunan Kudus dalam penyebaran agama Islam di nusantara.
D. Manfaat Penulisan
1. Dapat
memahami secara lebih jelas mengenai asal-usul dari Sunan Kudus.
2. Dapat
memahami proses penyebaran islam yang ada di nusantara.
3. Dapat
memahami sejarah kota kudus dan peranya dalam penyebaran islam di nusantara.
4. Dapat
memahami tentang filosofis dari peninggalan-peninggalan pada masa Sunan Kudus.
E. Metodologi Penelitian
Metodologi
penelitian adalah
ilmu yang membicarakan jalan mencakup jenis penulisan sejarah, unit kajian,
permasalahan, teori, konsep dan sumber sejarah. Sedangkan metodologi sejarah
adalah suatu cabang filsafat yang berhubungan dengan ilmu tentang metode atau
prosedur; suatu sistem tentang metode-metode dan aturan-aturan yang digunakan
dalam sains.[6]Nugroho
Notosusanto mengajukan langkah-langkah dalam metode sejarah, yaitu:
1. Heuristik
adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau yang dikenal sebagai
sumber-sumber sejarah. Dalam langkah ini kami penulis mengumpulkan sumber-sumber
baik melalui diskusi, hasil observasi, buku-buku yang
relevan dengan topik serta mendatanggi langsung makam Sunan Kudus di Kabupaten
Kudus. Sumber-sumbernya adalah dari nara sumber atau informan yang ada di makam
Sunan Kudus, Babad Demak yang di tulis oleh Dr. Purwadi, M.Hum dan Maharsi, SS,
M.Hum, Islamisasi di Jawa yang di tulis oleh Drs. Ridin Sofwan, Drs. H. Wasit,
Drs. H. Mundiri dan buku-buku lain.
2. Kritik
sumber adalah meneliti atau menyelidiki apakah jejak-jejak itu benar-benar
sesuai atau tidak. Kritik sumber di dasarkan pada kritik extern dan kritik
intern. Kritik extern adalah penerkaan mengenai tanggal kira-kira dari pada
dokumen dan suatu identifikasi dari pada yang menurut dugaan adalah
pengarangnya, sedangkan kritik intern merupakan sejarawan pertama kali
memeriksa kesaksian dengan jalan memperoleh seperangkat unsur yang relevan bagi
sesuatu topik atau persoalan yang ada dalam pikirannya. Unsur-unsur yang
terpencil tidak memiliki konteks atau tidak cocok didalam suatu hipotesa, maka
nilai mereka patut diragukan. Tetapi itu merupakan masalah Sintesa, yang akan
dibicarakan kemudian.[7]
Dalam tulisan ini kami melakukan kegiatan meneliti bahan-bahan dengan melakukan
perbandingan dari sumber-sumber yang telah di kumpulkan yang terkait dengan
Sunan Kudus.
3. Interprestasi
adalah menetapkan makna yang berhubungan dari fakta-fakta sejarah yang telah
berhasil di kumpulkan setelah diterapkan kritik intern dan ekstren dari
data-data yang sudah di dapatkan. Penulis merangkai data-data yang saling
berhubungan dengan judul laporan sehingga menjadi tulisan sejarah.
4. Penyajian
adalah menyampaikan sintesa atas hasil penelitian yang telah di lakukan dalam
hal ini diperlukan imajinasi historis yang baik, sehingga fakta-fakta sejarah
dapat disajikan secara menyeluruh.
F. Sistematika Pembahasan
Agar
lebih memahami isi yang akan dibahas dalam laporan ini, maka penulis memberikan
sistematika dalam pembahasan penelitian:
BAB
I PENDAHULUAN
Dalam
bab ini dijelaskan latar belakang masalah yang terkait dengan asal-usul Sunan
Kudus, Sunan Kudus menjadi panglima perang di Demak mengantikan ayahnya, asal
mula nama kudus di berikan kepada kota tempat tinggal yang pernah di tinggali
Sunan Kudus. Bab ini juga mencakup mengenai talasan penulis dalam memilih judul
Sunan Kudus seorang Panglima Perang dan Ulama karena adanya kertetarikan
penulis dalam membahas mengenai Sunan Kudus. Rumusan masalah yang ada dalam
laporan akan menjadikan laporan ini menjadi fokus dan memperjelasnya. Metode
penelitian yang di pakai dalam penulisan laporan ini sesuai dengan metodologi
sejarah. Harapan penulis atas penulisan laporan ini tetuang dalam tujuan dan
manfaat penelitian.
BAB
II ASAL-USUL SUNAN KUDUS DAN PANGLIMA PERANG
Pada
bab ini akan memberikan gambaran mengenai asal-usul dari Sunan Kudus. Pemuda
Undung pergi berguru kepada Sunan Ampel dan kemudian menjadi murid yang
disayangi dan dinikahkan dengan seorang cucunya yang bernama Syarifah. Dari
perkawinan ini lahirlah Raden Fatihan atau Ja’far Shadiq yang kemudian lebih di
kenal sebagai Sunan Kudus.
Sunan
Ngundung di Demak diangkat menjadi panglima perang dan gugur di medan laga
melawan Majapahit. Ja’far Shadiq atau lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus
menggantikan kedudukan ayahnya menjadi seorang panglima perang Demak. Saat
Sunan Kudus menjadi seorang panglima perang Sunan Kudus sangatlah hebat dalam
menghadapai musuh-musuhnya.
BAB
III SUNAN KUDUS SEORANG ULAMA
Sunan
Kudus termasuk Guru Besar agama yang telah mengajar dan menyiarkan agama islam
di daerah Kudus dan sekitarnya. Sunan Kudus dalam proses penyamapaian agama
Islam menggunakan pendekatan yang halus sehingga dalam prosesnya tidak membuat
agama lain terganggu dengan datang agama islam yang di bawa oleh Sunan Kudus.
Sunan Kudus mempunyai banyak murid serta kader-kader di berbagai pelosok daerahnya
untuk bisa menyiarkan agama islam keseluruh daerah.
BAB
IV PENUTUP
Isi dari bab ini
adalah mengenai kesimpulan dari keseluruhan pembahsan bab-bab yang sebelumnya.
BAB II
SUNAN KUDUS SEBAGAI PANGLIMA
PERANG DI DEMAK
A.
Sunan
Kudus
Dalam penyebaran
agama islam ditanah jawa yang menjadi daerah penyebaranya adalah di daerah
pesisir utara dari pulau jawa sejak dari
Gresik, Tuban, Ampel, Cirebon dan Banten. Hanya Demak dan Kudus yang jauh
letaknya dari pesisir, akan tetapi bagi Demak waktu itu perhubungan melalui
laut tidaklah sulit, karena melalui sungai merupakan jalan yang menghubungkan
atara Demak dengan daerah pesisir lainya. Demikian juga dengan Kudus. Ada
sungai yang menghubungkan dengan laut yaitu sebelah barat Tanggulangin dan
sebelah timur ialah sungai juwana.[8]
Nama Sunan
Kudus adalah
Dja’far Shadiq, dan ketika beliau memimpin rombongan haji mendapat gelar dengan julukan R. Amir Hadji dan nama kecilnya menurut
riwayat adalah Raden Undung.
Sunan Kudus adalah adik
ipar dari pada Sunan Muria karena Dewi Sudjinah, isteri Dunan Muria adalah
kakak kandung Sunan Kudus. Konon katanya sebelum Sunan Kudus datang ke Kudus
ada seorang yang sudah menjadi tokoh tua di Kudus beliau adalah Mbah Kyai
Telingsing. Kyai Telingsing inilah yang menyerahkan kota kudus kepada Sunan
Kudus. Makam dari Kyai Telingsing ada di kampung Sunggingan dan menurut cerita
beliau merupakan seorang Tionghoa yang telah masuk islam. Kata Telingsing
adalah singkatan dari nama Tionghoa : The Ling Sing. Beliau merupakan seorang
pemahat yang termasuk dalam aliran Sun Ging, seorang pemahat Tionghoa yang terkenal
yang telah masuk Islam.
Menurut
silsilah Sunan kudus ada Dja’far Shadiq itu ialah putera dari R. Usman Haji
yang bergelar Sunan Ngundung di Djipan-panolan. Usman Hadji bin Raja Pendeta
bin Ibrahim Asmarakandi (asmarakandi adalah dari kata Samarkand, sebuah kota di republik
Ubzbekistan). Ibrahim Asmarakandi bin Zaini al Kubra bin Zainul Aliem bin
Zainul Abidin bin Sajid Chusain bin Ali. Dikisahkan bahwa Undung dan Rara Dampul
melihat bianglala yang sangat indah dan mengikuti sinar dari bianglala sampai
tiba di pusat bumi yang disebut Cirebon, negara tempat tinggal Syarif
Hidayatullah.[9]
Keduanya menemui Syarif Hidayatullah yang teryata masih saudara sepupu. Mereka
melapor bahwa sinar negeri Cirebon terlihat sampai di Mesir dan mereka berniat
untuk tinggal di Cirebon.
Syarif
Hidayatullah menyarankan Pemuda
Undung untuk pergi berguru pada Sunan Ampel, dan kemudian ia menjadi murid yang
disanyanginya.[10]
Sunan Ampel kemudian mengawinkan Undung dengan seorang cucunya yang bernama
Syarifah, anak Sunan Ampel yang bernama Ny. Ageng Maloka, adik Sunan Bonang dan
Sunan Drajat. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Raden Fatihan
Atau Ja’far Shadiq, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus setelah
Meninggal.
Sunan
Kudus menikah dengan Dewi Richil, putri dari Raden Makdum Ibrahim, Kanjeng
Sunan Di Tuban. Raden Makdum Ibrahim putra Raden Rahmat (Sunan Ampel) Putra
Maulana Ibrahim Asmarakandi : hingga disini bertemulah silsilah Sunan Kudus
dengan isterinya. Dengan Demikian maka Sunan Kudus itu adalah menantunya
Kanjeng Sunan Bonang.
Dalam
perkawinannya dengan Dewi Richil ini Sunan Kudus hanya mendapatkan seorang
putra laki-laki yang diberinya nama Amir Hasan. Setengah riwayat mengatakan,
bahwa dalam perkawinannya dengan putri Pangeran Pedjat Tandaterung dari
Majapahit, Sunan Kudus di kabarkan memperoleh 8 orang putra yaitu :
1. Nyi
Ageng Pembayun
2. Panembahan
Palembang
3. Penembahan
Mekaos Honggokusumo
4. Panembahan
Kodhi
5. Panembahan
Karimun
6. Panembahan
Joko
7. Ratu
Pakojo
8. Ratu
Prodobinabar.
Diantara kedelapan orang yang tersebut diatas
hanya 4 orang yang kini makamnya dikenal orang disekitar makam Sunan Kudus.
Keempat orang itu adalah Panembahan Palembang, Panembahan Mekaos, Pangeran Potjowati
dan Pageran Sudjoko.[11]
B.
Sunan
Kudus Seorang Panglima Perang Kerajaan Demak
1.
Membuka
Kerajaan Majapahit
Setelah
Sunan Ngundung gugur di medan perang melawan Majapahit. Setelah ayahnya wafat
dalam peperangan Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq mennggantkan kedudukan ayahnya.
Atas perintah dari Sunan Bonang, waknya yang menjadi Ketua Dewan Walisongo,
Sunan Kudus diangkat menjadi panglima perang tertinggi bertugas menaklukan
Majapahit. Sunan Kudus merupakan panglima perang yang cakap. Sebelum
penyerangan Majapahit di mulai, Sunan Kudus memperhitungkan tentara Islam.
Setelah
mendapat nasehat dari Sunan Gunung Jati dan Sunan Bonang yang meberi nasehat,
bila ia tiba ditengah pasukannya agar Badong itu dibawa mengelilingi pasukan
yang dipimpinnya dan selain itu juga membawa keliling di tengah pasukan peti
bertuah dari Palembang. Sesuai saran Sunan Bonang agar ia menghubungi para
Bupati yang telah menganut Islam, Yakni Bupati Madura, Adipati Sumenep, ke Giri
dan menyatukan penjajahan Majapahit yang telah masuk Islam. Juga dihubungi
Adipati Pamekasan, Belega dan Panaraga untuk bersatu menggempur Majapahit.[12]
Sampai
di medan pertempuran, badong
pemberian Sunan Gunung Jati kemudian ia bawa keliling dan keluarlah tikus yang
tidak terkira banyaknya bergerak laksana banjir melanda perkemahan tentara
Majapahit. Tikus yang tidak diketahui oleh musuh dari mana datangnya itu
melahap habis pembekalan ketentaraan, dengan beringas menyambar tombak dan
kemudian menghilang. Pakaian prajurit, peralatan kuda, kendali dan apus dirusaknya.
Bila kebetulan kena pukul prajurit, ia tidak mati tapi malah tambah ganas
berlarian kesana kemari dalam perkemahan yang membuat tentara Majapahit
kebingungan.
Pada esok harinya kedua pasukan bertemu,
tentara Islam di pimpin Sunan Kudus dan tentara Majapahit oleh Adipati Terung
yang bergelar Pecattanda. Sunan Kudus kemudian memerintahkan seorang prajurit
untuk membuka peti dari Palembang, kemudian keluarlah suara menggelgar ke
langit, lebah kepala berjuta-juta banyaknya menutup sinar sinar matahari bagai
mendung. Seperti angin ribut yang menerjang lebah itu berbondong-bondong
menyengat prajurit Majapahit yang tidak sempat menghindar dan tentara-tentara
itu berlarian mencari selamat. Lebah itu hilang ketika mendekati gerbang
Majapahit karena kesaktian Raja Brawijaya. Sampai disini prajurit Islam
menjumpai pintu terkunci.
Mereka
mengepung istana raja. Atas kesaktian Raja Brawijaya, Kyai Kalamunyeng, pusaka
Majapahit, terbang berputar mengelilingi benteng. Setiap prajurit gabungan
Demak akan melompati tembok, dengan ganas diterjangnya sehingga banyak tentara
Islam yang tewas. Musibah ini diberitahukan kepada Sunan Kudus, namun ia tidak
kuasa untuk menandinginya. Ia kemudian menyerahkan masalah itu kepada Sunan
Giri yang kemudian mengajak semua wali untuk membaca takbir bersama-sama.
Selama adzan dikumandangkan, keris itu
tetap menerjang tetapi segera terbang berbalik sebelum mengenai korbanya.[13]
Para wali melihat keris itu berbentuk cahaya, dan karena diketahui musuhnya,
keris itu tidak kuasa terbang dan tidak menerjang lagi. Tentara gabungan Demak
kemudian masuk ke istana dan didapati Raja Brawijaya eserta pegawainya yang
setia pergi.
Sunan
Kudus mengambil rampasan perang atas saran Sunan Giri. Oleh Sunan Giri
keris Ki Sangkelet dan Mesanular,
diserahkan Sunan Kudus untuk diberikan kepada Adipati Demak. Sunan Kudus
memberi perintah untuk mengumpulkan para prajurit Majapahit yang lolos dan bila
tidak mau mematuhi akan di bunuh, selain itu juga memerintahkan Adipati
Surengkuwuh untuk melakukan ekspansi ke wilayah timur, yakni menaklukan Tandes
dan Blambangan. Adipati Sumenep, Baliga dan juga Adipati pesisir lainya agar
menaklukan Madiun dan Jagara. Setelah peperangan selesai, daerah kekuasaan
Demak ke timur samapai Madura dan ke barat sampai Cirebon. Setelah itu, Sunan
Kudus menyelesaikan sisa-sisa kekuatan Majapahit yang dipimpin Adipati Terung.
Majapahit dikepung. Adipati Terung menulis surat kepada Sunan Kudus berisi
pernyataan kalah perang, dan ia bersedia menerima hukuman.
Selanjutnya,
Sunan Kudus memberi perintah kepada para prajurit agar membawa pulang ke Demak
bangunan peradilan Majapahit yang digunakan sebagai serambi Masjid Demak.
Setelah sampai di Demak Suinan Kudus di sambut oleh Baginda Adipati Demak dan
para wali. Sunan Kudus juga melaporkan juga tugas yang telah diselesaikannya
kepada Sunan Bonang, sedangkan keris Kalamunyeng masih dirawat Sunan Giri.
2.
Menaklukkan
Pengging
Kelihaian Sunan Kudus sebagai seorang
Panglima Perang tidak hanya terbukti ketika membuka Majapahit tapi juga waktu
mengalahkan Adipati Handayaningrat yang berniat mendirikan negara yang bebas
dari kekuasaan Demak. Meskipun bupati dalam wilayah Demak banyak bupati tetapi
tidak ada yang seperti Handayaningrat. Kekeuatan Pengging di bawah Kebo
kenanga, yang bergelar Pangeran Handayaningrat, menguasai daerah-daerah di luar
Pengging. Ki kebo kenanga, bersama dngan ki ageng tingkir dalah pengikut Siti
Jenar yang setia. Ki ageng tingkir yang berdiam di ngadipurwo begitu tekun
beribadah siang dan malam di gunakan usianya untuk mengagungkan tuhan dengan
meninggalkan kenikmatan badani.
Baginda
sultan demak mengetahui apa yang sedang di bangun pengging oleh kebo kenango, ternyata tidak hanya membangun padepokan untuk menyebarkan
agama, tetapi membangun untuk mendirikan negara merdeka. Demak mengutus
mengutus ki wanapala menyelesaikan kasus ki kebo
kenongo. Ia datang membawa tiga pesan. Pertama menyanyakan tujuan kebo kenango mendirikan padepokan,
apakah semata-mata untuk menyebarkan agama mengabdi kepada tuhan atau latar
belakang politik menyaingi demak. Kedua, sultan demak menyadari bahwa dia
adalah kerabat sultan, jika ada masalah yang mengganjal dapat di bicarakan
baik-baik. Ketiga, kenapa sudah beberapa lama tidak menghadap ke demak.[14]
Terjadi perdebatan seru di pengging, keduanya saling mengalahkan perdebatan
tanpa berakhir. Waktu berjalan tiga tahun dan kebo kenango belum juga menghadap ke demak, keadaan ini menyakinkan
sultan demak bahwa kebo kenongo telah
makar dari negara yang sah, baginda lantas mengutus sunan kudus untuk
menyelesaikan masalah ini, dia berangkat di sertai tujuh pengikutnya dan
membawa bende kiyai macan pemberian
mertuanya Adipati Terung. Sunan kudus melanjutkan perjalanan lurus ke arah
selatan. Ketika sudah dekat dengan istana sunan kudus bertanya kepada salah
seorang warga. Penduduk menjawabnya ya, bahkan memberikan informasi tambahan
kepada sunan kudus, bahwa ki ageng pengging dalam keadaan prihatin. Sedih hatinya
karana kematian kakak seperguruannya yaitu ki ageng tingkir.
Sunan
Kudus masuk ke istana, tetapi tujuh temannya di tinggal di luar benteng dengan
memberi pesan agar bende di tabuh
bila mau memberi isyarat nanti. Setelah masuk sunan menayakan kehendak adipati
handayaningrat tentang maksud mendirikan padepokan dan tidak bersedia menghadap
raja demak. Sunan Kudus lalu berkata, “Kyai Ageng Pengging, sang prabu
memanggilmu. Engkau pilih yang mana, di luar atau di dalam. Di bawah atau di
atas? Ki Ageng berujar, “ Di dalam atau di luar, di atas atau di bawah, semua
itu aku tidak memilih. Aku tidak mau memilih! Kalau memilih di itu namanya
sirik, kalau memilih di luar malah akan lebih terjerumus. Sama saja kalau aku
memilih di luar malah akan lebih terjerumus dan kalau aku melih di atas akan
mulia, kalu memilih di bawah akan kebingunggan mencari tujuan. Di luar, di
dalam, di atas ataupun di bawah bukanlah milikku.[15]
Namun handayaningrat tidak berubah pendiriannya, ketika menjawab pertanyaan
sunan kudus apakah ingin menjadi raja atau menjadi warga negara, memilih di
atas berarti memilih suka di hormati sedang kan memilih di bawah pastilah ada
salahnya.
Sunan kudus bersedia menerima permohonan
terakhir handayaningrat segara pisau di keluarakan dan sikut handayaningrat di
sayat,kemudian jatuh dan wafat. Sunan kudus segera keluar dari istana seluruh
kadipaten menjadi gaduh dan prajurit siap bertempur mereka mengejar sunan kudus
dengan membawa perlengkapan perangnya. Sunan Kudus, berpesan kepadanya untuk
berhati-hati. Ia melambaikan tangannya ke arah timur. Ketika tetara Sunan Kudus
hilang di telan malam, ada yang menerka bahwa mereka lari ke utara maupun ke
selatan. Tapi kenyataannya mereka tidak lari ke utara maupun ke selatan.ketika
Sunan Kudus sudah sampai Kali Pepe, mereka duduk di tepi utara.
Sunan Kudus
kasihan kepada tentara Pengging karena mereka sudah tidak punya pemimpin lagi.
Lalu Sunan Kudus melambaikan kerisnya ke arah tenggara, lalu para tentara
Penging pun menyerang ke tenggara. Namun musuh tidak ada yang di tenggara.
Hingga mereka pun sampai di Kali Pepe. Dendam mereka pun hilang karena musuh
mereka musnah, dan para prajurit Pengging pulang dan mengurus jenazah serta
menguburkan pemimpinnya.
BAB III
SUNAN KUDUS SEORANG ULAMA
A. Cara Sunan Kudus Dalam Menyebarkan Agama Islam
Sunan
Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai
daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara
berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya
setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali yang kesulitan
mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk hindu
penduduknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat
Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu
terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran atau
padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha, mengingatkan kita kepada
salah satu pembelajaran Budha yang pertama yang diberikan di Banares India.[16] Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Sunan Kudus memancing
masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia
sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid,
misalnya Kanjeng Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi pada hari
raya Idul Qurban.[17]
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah
mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti
"sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional
Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.Sunan Kudus juga menggubah
cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga
masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya
mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah
Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan
hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus.
Adapun
Imam Ja'far Sodiq yang terkenal di Iran itu tidak saja sebagai seorang imam
dari kaum Syi'ah, akan tetapi juga sebagai seorang yang terkemuka di dalam
soal-soal hukum maupun ilmu pengetahuan lainnya.
Dengan demikian, maka menurut hemat kita Ja'far Sodiq yang
terkenal di Iran sebagai seorang wali, seorang imam dari golongan Syi'ah yang
amat dipuja serta dihormati itu, kiranya bukanlah Ja'far Sodiq seorang wali
yang menjadi salah seorang anggota dari kesembilan wali di Jawa. Kajeng Sunan
Kudus di kalangan masyarakat setempat, dikapitayankan
sebagai tokoh yang kawentar dengan
seribu satu kesaktian. Kanjeng Sunan Kudus dikatakannya sebagai seorang wali
yang sakti, yang dapat berbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga
manusia biasa.[18] Disamping bertindak sebagai guru agama Islam. juga sebagai
salah seorang yang kuat syariatnya, Sunan Kudus pun menjadi senopati dari
kerajaan Islam di Demak Antara lain yang termasuk
bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya diKudus, yang kemudian dikenal
dengan sebutan masjid menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat
sebuah menara kuno yang indah. Mengenai
asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng yang hidup dikalangan masyarakat
setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut
ilmu di tanah arab, kemudian beliaupun mengajar pula di sana.
Pada suatu masa, di tanah arab konon
berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit mana kemudian
menjadi reda, berkat jasa sunan kudus, oleh karena itu, seorang amir disana
berkenan untuk memberikan suatu hadian kepada beliau. akan tetapi beliau
menolak,hanya kenang-kenangan beliau meminta sebuah batu.
Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis,
atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup
serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus. Bahkan menara yang
terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan menara
Kudus.
Raden Patah
memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertempuran,
Kebo Kenanga tewas. Namun, peranan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang
semakin redup. Setelah pembangunan masjid Demak dan serambi kerajaan Majapahit
yang pantas digunakan sebagai masjid, maka di usunglah Serambi Majapahit.
Setelah serambi itu selesai, Sunan Bonang berpikir siapa yang menjadi Imam.
Para wali ditanyai oleh Sunan Bonang
apakah ada diantara mereka yang mau menjadi imam. Semua menjawab sebaiknya
Sunan Bonang yang menjadi Imam. Tetapi Sunan Bonang tidak mau dan menjawab mau
menjadi Khatib yang menjaga. Seh Malaya kemudian dipilihmenjadi bawahannya. Sunan
Bonang berkata, “Kalau demikian Sunan Kudus yang kutunjuk menjadi Penghulu”.
Sunan Kuus menyanggupi tidak menolak sang Yogi. [19]Bahkan,
menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak menjabat panglima lagi,
melainkan menjadi imam masjid di Demak. Terdapat beberapa versi tentang
kepergian Ja'far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq berselisih
paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq berselisih paham
dengan Sunan Kalijaga.
Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far
Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru
mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru. Versi lain menyebutkan, Ja'far
Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka
dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas
kapan persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud
dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa
catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana.Kedua peneliti itu menyatakan,
ketika Ja'far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, nama yang lebih tua bagi
tempat itu adalah Tajug.[20]
Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug
adalah Kiai Telingsing.[21] Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan
sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.Beberapa cerita tutur
mempercayai bahwa Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari
kerajaan.
Di Tajug, Ja'far Shodiq mula-mula hidup
di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah
Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak, sekaligus
para tentara yang ikut bersama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain
menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan
Ja'far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Sehingga bisa ditafsirkan pekerjaan
lain sunan kudus adalah petani.Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq
kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama.
Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara
Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi
masjid tersebut. Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956
Hijriah, sama dengan 1549 Masehi[22].
Dalam inskripsi terdapat kalimat
berbahasa Arab yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri
Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan
Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem. Kota Tajug juga mendapat nama
baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far
Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan
agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model
''tutwuri handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal,
melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.
Semasa hidupnya Sunan Kudus mengajarkan
agama Islam disekitar daerah Kudus khususnya dan di Jawa Tengah pesisir utara
pada umumnya. beliau terhitung salah seorang ulama, guru besar agama yang telah
mengajar serta menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. terkenal
dengan keahliannya dalam ilmu agama. terutama dalam Ilmu Tauhid, Usul , Hadits,
Sastra Mantiq dan lebih-lebih di dalam Ilmu Fiqih. Oleh sebab itu beliau
digelari dengan sebutan sebagai Waliyyul 'Ilmi. Menurut riwayat beliau juga
termasuk salah seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita
pendek yang berisi filsafat serta berjiwa agama. diantara buah ciptaannya yang
terkenal, ialah Gending Maskumambang dan Mijil.
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam
berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan
Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk
bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan
persisnya hari pertama puasa. Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung,
tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal
masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya
untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.
B.
Peninggalan
Sunan Kudus
1.
Masjid
Semasa
hidupnya Sunan Kudus telah berjasa dalam mendirikan masjid Agung dikota Kudus
yang kemudian lebih dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus. Jika dilihat dari
batu tulis yang terletak diatas tempat pengimaman masjid, yang bertuliskan dan
berbahasa Arab, menunjukan bahwa mesjid dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun
956 Hidjriyah. Batu itu berprisai yang ukurannya dengan prisainya adalah
panjang 46 cm dan lebar 30 cm. Kalau tanpa prisai panjang 41 cm dan lebar 23,5
cm. Konon kabarnya batu itu bersal dari kota Baitulmakdis (al Quds) di
Jeruzalem Palestina.[23]
Mesjid
Menara Kudus terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah
kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari pada 5 buah dan
tiang besar didalam mesjid yang berasal dari kayu jati 8 buah. Kolam masjid
yang terletak sebelah selatan juga termasuk peninggalan jaman purba. Kolam
berbentuk padasan tempat mengambil air wudlu mempunyai 8 buah lubang dan
diatasnya terdapat ukiran berbentuk kepala arca sebanyak 8 buah yang
mengingatkan kita kepada salah satu pelajaran Budha yang pertama diberikan pada
para siswa di Banares (India) yaitu ASTASANGHIKAMARGA yang artinya delapan
jalan utama.[24]
Didalam masjid terdapat pula sebuah pintu gapura kecil dan diserambi depan
terdapat pula sebuah pintu gapura yang penduduk mengenalnya dengan “Lawang
Kembar” yang menurut cerita pintu gapura itu berasal dari bekas kerajaan
Majapahit.
Menurut
cerita sebenarnya masjid Sunan Kudus yang tertua itu adalah masjid Nganguk yang
kemudian hingga kini terkenal dengan sebutan “Masjid Wali”. Dan desa tersebut
kemudian dikenal juga dengan sebutan “Nganguk Wali”.
2.
Menara
Sejarah
mengenai menara kudus ada 2 macam. Sebagian orang mengatakan, bahwa menara
kudus dahulu sebelum kedatangan Islam ditanah Jawa merupakan tempat pembakaran
mayat para raja-raja atau kaum bangsawan. Ada pula yang mengatakan, bahwa konon kabarnya pada jaman dahulu itu di
bawah menara terdapat sebuah kawah tempat pembuangan atau penyimpanan abu para
nenek moyang kita, yang berarti merupakan bekas candi peninggalan Hindu.[25]
Dilihat dari segi archeologis bahwa menara Kudus merupakan paduan antara seni
Hindu dan Islam.
Dilihat
dari segi historis, bahwa kedatangan Islam ketanah Jawa adalah didahului oleh
kedatangan agama-agama Budha dan Hindu.
Dilihat
dari segi filosofis adalah dengan didirikannya menara Kudus diartikan sebagai
tanda untuk mematikan kepercayaan lama, mengakhiri masa untuk mendewa-dewakan
raja sebagai Tuhan.[26] Menara yang dahulu dijadikan tempat
memuja arwah dan ruh raja-raja kini dijadikan tempat untuk menyeru sembahyang.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sunan
Kudus adalah putra dari Sunan Ngundung yang dalam tradisi Cirebonan disebut
sebagai Sunan Undung putra saudara Sultan Mesir, adik Rara Dampul yang
dikisahkan melihat bianglala yang sangat indah. Pemuda Undung pergi berguru
kepadapada Sunan Ampel dan kemudian menjadi murid yang disayangi dan dinikahkan
dengan seorang cucunya yang bernama Syarifah. Dari perkawinan ini lahirlah
Raden Fatihan atau Ja’far Shadiq yang kemudian di kenal sebagai Sunan Kudus.
Sunan
Kudus atau Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke
timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sebelum perang, Ja'far
Shodiq diberi badong (semacam baju zirah) oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu
digunakan di medan perang. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi
Panglima Perang. Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung,
menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi
putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya,
Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang,
yang menghasilkan satu anak. Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far
Shodiq makin kokoh.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus
dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha, terlihat dari arsitektur
masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran atau padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan
tablighnya. Untuk itu, Sunan Kudus sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama
Kebo Gumarang di halaman masjid.
Orang-orang
Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar
penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”.
Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk
menyembelih sapi di hari Qurban.
Sunan
Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara
berseri, sehingga masyarakat lebih tertarik untuk mengikuti kisah
kelanjutannya.
Sebuah
pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan
Abbasiyah. Semasa hidupnya Sunan Kudus mengajarkan agama Islam disekitar daerah
Kudus khususnya dan di Jawa Tengah pesisir utara. Sunan Kudus terhitung salah
seorang ulama, guru besar agama yang telah mengajar serta menyiarkan agama
Islam di daerah Kudus dan sekitarnya.
B. SARAN
Kami menyadari bahwa penyusunan laporan KKL II ini masih banyak kesalahan dan sangat jauh
dari sempurna,oleh karena itu kami meminta kritik dan saran yang bersifat
membangun agar kami dapat memperbaikinya. Harapan kami semoga laporan ini dapat bermanfaat terutama bagi
pembacanya,Demikian penyusunan laporan KKL II ini apabila banyak kesalahan baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja kami mohon maaf yang setulus-tulusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Purwadi,
M,Hum,2008.Kraton Panjang.Yogyakarta:
Panji Pustaka.
Drs. Ridin
Sofwan dkk, 2000. Islamisasi di Jawa.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1999. Masjid
Kuno Indonesia. Jakarta: proyek pembinaan peninggalan sejarah dan
kepurbakalaan pusat.
De Graff, HJ dan
Th.G.Th. Pigeaud, 1985. Kerajaan-kerajaan
Islam Pertama di Jawa. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.
Dr. Purwadi,
M.Hum dan Maharsi, SS, M.Hum, 2005. Babad
Demak. Yogyakarta: Tunas Harapan.
Gottschalk,
Louis, 1969. Mengerti Sejarah.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
R. Moh.
Ali,1963.Perjuangan Feodal.Bandung:
Ganco nv.
Rahimsyah, M.B. Kisah
Walisongo. Surabaya: Gali Ilmu.
Riyadi, Slamet
dan Suwaji,1981.Babad Demak I.Jakarta:
Proyek penerbitan buku sastra indonesia dan daerah.
Salam, Solichin,
1959. Sunan Kudus. Kudus: Menara
Kudus.
Sjamsuddin,Helius,2007.Metodologi Sejarah.Yogyakarta: Ombak.
[1] Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi di Jawa, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000) , hlm. 127.
[2] Purwadi, dan Maharsi, Babad Demak, (Yogyakarta: Tunas Harapan,
2005). Hlm. 135.
[3] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Masji Kuno Indonesia, (Jakarta:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Keperbukalaan Pusat, 1999), hlm. 157.
[4] Hj. De Graaf dan Th.g.Th.
Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, (Jakarta: PT Pustaka
Grafitypers, 1985), hlm. 117.
[5] Solichin Salam, Sunan
Kudus, (Kudus: Menara Kudus, 1959), hlm. 16.
[6] Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah, (Yokyakarta: Ombak,
2007), hlm. 14.
[7] Louis Gonttschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1969), hlm. 94-95.
[8] Ibid., hlm. 13.
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm. 128.
[11] Ibid., hlm. 16.
[12] R. Moh Ali, Perjuangan Feodal, (Bandung: GANACO NV, 1963), hlm. 85.
[13] Ibid., hlm. 129-130.
[14] Ibid., hlm. 132- 134.
[15]
Purwadi, Kraton Pajang, (Yogyakarta: Panji
Pustaka, 2008), hlm. 92.
[16] Ibid., hlm. 21.
[17] Ibid., hlm. 136.
[18] Ibid., hlm. 137.
[19] Adila Suwarmo, Babad Tanah Jawi, (Jakarta: Amanah
Lontar, 2004), hlm. 118-119.
[20] Ibid., hlm. 115.
[21] Ibid., hlm. 132.
[22] Ibid., hlm. 156.
Komentar
Posting Komentar