Perkembangan Penulisan Sejarah (Historiografi) di Indonesia
Perkembangan
historiografi Indonesia tidak terlepas dari pertumbuhan historiografi dan ilmu
sejarah pada umumnya. Persoalan yang langsung menyangkut historiografi
Indonesia, antara lain diferensiasi dalam bidang-bidang sejarah, seperti
sejarah gerakan sosial, hubungan internasional, struktur sosial, jadi hubungan
yang semakin erat antara sejarah dengan ilmu pengetahuan sosial, sedangkan
metodologi mengambil peranan yang semakin penting (Rohman, 2013). Perkembangan
historiografi seiring dengan perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia, baik
melalui upaya-upayanya maupun setelah mendapat pengaruh dari kebudayaan lain
dan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
1. Historiografi
Tradisional
Pada masa
perkembangan historiografi tradisional, yaitu corak penulisan
sejarah yang banyak ditulis oleh para
pujangga kraton, karya-karya mereka
bertujuan untuk melegitimasi kedudukan
raja. Dengan demikian, historiografi pada masa ini
mempunyai ciri-ciri magis, religius, bersifat sakral,
menekankan kultus, dewa raja dan mitologi, bersifat
anakronisme, etnosentrisme, dan berfungsi sosial
psikologis untuk memberi kohesi pada suatu
masyarakat tentang kebenaran-kebenaran kedudukan suatu dinasti (Indriyanto,
2001, hal. 2).
Selanjutnya Soedjatmoko (1965)
mengemukakan bahwa historiografi tradisional nusantara, kita kenal dengan
sejumlah istilah seperti babad, serat kanda, sajarah, carita, wawacan,
hikayat, sejarah, tutur, salsilah, cerita-cerita manurung (Sjamsuddin,
2007, hal. 10). Semuanya naratif dalam bentuk prosa maupun puisi
(syair). Kartodirdo (1982) menyebutkan historiografi tradisional itu
berkembang setelah suatu kelompok dalam masyarakat Indonesia membentuk suatu
kesatuan politik. Dengan timbulnya kerajaan atau kehidupan bangsa dalam suatu
kesatuan politk, dibina pula historiografi yang menghasilkan naskah sebgai
karya sastra sejarah. Pembinaan historiografi diselenggarakan di pusat kerajaan
di berbagai daerah di Indonesia. Karya sastra sejarah yang dihasilkan terdiri
dari naskah-naskah dalam bahasa-bahasa daerah dan sejarah di dalamnya masih
difungsikan sebagai mitos (Dasuki, 2003, hal. 347).
Karya-karya
sejarah yang ditulis oleh para pujangga dari lingkungan keraton ini hasil
karyanya biasa disebut Historigrafi Tradisional. Contoh karya sejarah yang
berbentuk historiografi tradisional yang ditulis oleh para pujangga keraton
dari kerajaan hindu/budha sebagai berikut : 1. Babad Tanah Pasundan, 2. Babad
Parahiangan, 3. Babad Tanah Jawa, 4. Pararaton, 5. Nagarakertagama, 6. Babad
Galuh, 7. Babad Sriwijaya, dan lain-lain. Sedangkan karya
historiografi tradisional yang ditulis para pujangga dari kerajaan Islam
diantaranya : 1. Babad Cirebon yaitu karya dari Kerajaan Islam Cirebon, 2. Babad
Banten yaitu karya dari Kerajaan Islam Banten, 3. Babad
Dipenogoro yaitu karya yang mengisahkan kehidupan Pangeran Diponegoro, 4. Babad
Demak yaitu karya tulis dari Kerajaan Islam Demak, 5. Babad Aceh dan
lain-lain (Jayusman, 2012).
Karakteristik Historiografi
Tradisional adalah sebagai berikut (Jayusman, 2012; Dasuki, 2003, hal.
346-347):
1.
Bersifat istana/kraton
sentris, dimana karya-karya didalamnya banyak mengungkapkan sekitar kehidupan
keluarga istana/keraton, dan ironisnya rakyat jelata tidak mendapat
tempat didalamnya, dengan alasan rakyat jelata dianggap a-historis.
2.
Bersifat Religio-magis,
, artinya dalam historigrafi tradisional seorang raja ditulis sebagai manusia
yang memiliki kelebihan secara batiniah, dianggap memiliki kekuatan gaib. Tujuannya
agar seorang raja mendapat apresiasi yang luar biasa di mata rakyatnya,
sehingga rakyat takut, patuh, dan mau melaksanakan perintahnya. Rakyat akan
memandang, bahwa seorang raja keberadaannya di muka bumi merupakan sebagai
perwujudan atau perwakilan dari Tuhan.
3.
Bersifat
regio-sentrisme dimana cerita sejarah berpusat kepada kedudukan sentral raja,
sehingga menimbulkan raja-sentrisme. Sebagai contoh, ada historiografi
tradisional dengan secara vulgar memakai judul dari nama wilayah
kekuasaannya,seperti Babad Cirebon, Babad Bugis, Babad Banten.
4.
Bersifat etnosentris
artinya dalam historiografi tradisional ditulis dengan penekanan pada
penonjolan/egoisme terhadap suku bangsa dan budaya yang ada dalam wilayah
kerajaan.
5.
Bersifat psiko-politis
sentrisme, artinya historiografi tradisional ditulis oleh para pujangga sangat
kental dengan muatan-muatan psikologis seorang raja, sehingga karya
historiografi tradisional dijadikan sebagai alat politik oleh sang raja dalam
rangka mempertahankan kekuasaannya. Tidak perlu terlampau heran kalau karya
historiografi tradisional oleh masyarakat setempat dipandang sebagai kitab suci
yang didalamnya penuh dengan fatwa para pujangga dalam pengabdiannya terhadap
sang raja.
Karena banyaknya
pengaruh oleh faktor budaya saat naskah penulisan sejarah budaya dibuat, maka
naskah tersebut dapat menjadi suatu hasil kebudayaan di masyarakat dan banyak
dipengaruhi oleh alam pikiran penulis naskah atau masyarkatnya. Melukiskan
kenyaataan jauh dari fakta yang sesungguhnya sehingga lemah dalam hal ketepatan
fakta (Kuntowijoyo, 1995, hal. 8). Namun historiografi tradisional dalam
batas-batas tertentu dapat dijadikan sumber untuk penulisan sejarah karena
masih dapat mengambil nama tokoh, nama wilayah/daerah dan tahun kejadian
(Jayusman, 2012).
2. Historiografi
Kolonial
Historiogrofi
kolonial tidak terlepas dari kepentingan penguasa kolonial untuk mengokohkan
kekuasaan di Indonesia. Kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka tehadap
suatu peristiwa sejarah yang tentunya akan berlawanan dengan historiografi
sejarah nasional. Historiografi Kolonial adalah karya sejarah
(tulisan sejarah) yang ditulis pada masa pemerintahan kolonial berkuasa
di Nusantara Indonesia, yaitu sejak zaman VOC (1600) sampai masa Pemeritahan
Hindia Belanda yang berakhir ketika tentara pendudukan Jepang datang di
Indonesia (1942). Perlu ditambahkan, pemerintahan Hindia Belanda yang
dikendalikan oleh para Gubernur Jenderal (GB) melalui para ahli begitu aktif
menulis karya sejarah. Atau dengan kata lain, historiografi kolonial adalah
karya tulis sejarah yang ditulis oleh para sejarawan kolonial ketika
pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia (Jayusman, 2012).
Kartodirdjo (1995)
dalam (Indriyanto, 2001, hal. 2) mengemukakan historiografi
kolonial yang sudah mendasarkan pada
tradisi studi sejarah kritis. Namun
demikian, perspektif yang
menonjol masih
menunjukkan Neerlandosentrisme sebagai penyempitan
wawasan Eropasentris. Asal mulanya karya
sejarawan Belanda terutama mengisahkan perjalanan
pelayar-pelayar Belanda serta kemudian
perkembangan VOC dilanjutkan dengan
pemerintah kolonial beserta penguasa-penguasanya.
Dalam hal ini kita menjumpai penulisan sejarah
berdasarkan tradisi historiografi konvensional
yang lebih berupa riwayat orang-orang berkuasa, antara lain Gubernur Jendral,
raja-raja, panglima, dan sebagainya. Sebuah model
sejenis historiografi ini adalah karya W.F.
Stapel, Geschiedenis van Nerlands-Indie
Dalam
historiografi kolonial Belanda diciptakan juga berbagai mitos untuk menonjolkan
superioritas bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia (Dasuki, 2003, hal. 348).
Inti cerita sejarah dari Historiografi Kolonial adalah bangsa Belanda, oleh
sebab hanya Belandalah yang dipandang penting di Hindia Belanda. Hal ini jelas
dari istilah Hindia Belanda atau Hindia Nederlan yaitu daerah Hindia
(Indonesia) yang “dimiliki” oleh Belanda. Bangsa Belanda sebagai “pemilik”
memandang diri pribadinya sebagai yang dipertuan dan sebagai bangsa yang termulia,
sehingga bangsa Indonesia hanya mendapat gelar “bumi putera” atau orang negeri.
Kita tidak dipandang sebagai suatu bangsa, tetapi hanya sebagai sejenis manusia
yang berguna bagi Belanda (Jayusman, 2012). Dalam mitos Hindia Belanda dibuat
fiksi bahwa seakan-akan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia secara apriori
sudah dimuali pada tahun 1596. Perang-perang kolonial pada abad ke-19 terhadap
daerah-daerah yang menentang untuk mempertahankan kehidupan masyarakat dan
kebudayaan dimitoskan dengan disebut “pasifikasi” (Dasuki, 2003, hal. 348).
Contoh karya
historiografi kolonial yang paling popular adalah sebuah buku yang ditulis oleh
Raffles dengan judul History Of Java. Karya lainnya adalah karya-karya
yang ditulis H.J. de Graaf dengan judul: Geschiedenis van
Indonesia (Sejarah Indonesia). Karya B.H.M. Vleke dengan
judul:Geschiedenis van den Indischen Archipel (Sejarah Nusantara).
Karya G. Gonggrijp dengan judul:Schets ener aconomische
Geschiedenis van Nederlands-Indie (Sejarah Ekonomi Hindia Belanda) (Jayusman,
2012).
Karakteristik
historiografi kolonial adalah sebagai berikut:
1.
Belanda Sentrisme
atau Neerlando Sentrismus artinya sejarah Indonesia di tulis dari
sudut pandang kepentingan orang-orang Belanda yang sedang berkuasa (menjajah)
di Nusantara Indonesia saat itu (Jayusman, 2012).
2.
Eropasentrisme, artinya
selain ditulis dari sudut pandang kepentingan orang Belanda, ditulis juga
sesuai dengan kepentingan bangsa Eropa pada umumnya.
3.
Mitologisasi artinya
banyak kejadian yang tidak didasarkan pada kejadian yang sebenarnya (Dasuki,
2003, hal. 348). Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat
mitologisasi dari dominasinya, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai
usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk pertahanan
masyarakat serta kebudayaannya (Rohman, 2013).
4.
ahistoris artinya
Orang Belanda dianggap sebagai manusia paling sempurna dalam berbagai kehidupan
di Nusantara, peran mereka ditulis dalam historiografi Kolonial sampai
berlembar-lembar sementara peran rakyat pribumi sebagai pemilik sangat
sederhana dan dituangkan dalam halaman yang sangat minim. Sejarawan kolonial
menganggap bahwa rakyat pribumi sebagai non-faktor dalam sejarah. Contoh
historiografi Kolonial dalam buku Sejarah Hindia Belanda sebagai berikut: Zaman
purbakala dan Hindu (25 Halaman), Penyiaran Islam dan bangsa Portugis di
Indonesia (8 halaman), VOC-kongsi dagang Belanda (152 halaman) dan pemerintah
Belanda (150 halaman) (Jayusman, 2012).
3. Historiografi
Modern
Historiografi
modern muncul akibat tuntutan ketepatan teknik dalam mendapatkan fakta sejarah.
Fakta sejarah didapatkan melalui penetapan metode penelitian, memakai ilmu-ilmu
bantu, adanya teknik pengarsipan dan rekonstruksi melalui sejarah lisan. Suatu
periode baru dalam perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan
timbulnya studi sejarah kritis. Dalam penulisan tentang sejarah kritis
dipergunakan prinsip-prinsip metode sejarah. Studi sejarah kritis juga
memerlukan bantuan dari ilmu lain untuk mempertajam analisanya. Hal ini
merupakan implikasi dari mulai sedikitnya peran analisa tekstual dengan
bantuan filologi terhadap studi sejarah Indonesia modern. Di sini yang harus
diperbaiki adalah alat-alat analitis serta metodologis.
Bertolak dari
hal ini, maka beberapa disiplin dari ilmu-ilmu sosial mulai dicantumkan dalam
studi sejarah. Konsep sejarah nasional sebagai unit makro merupakan kerangka
referensi bagi sejarah lokal/regional yang dapat dipandang sebagai unit mikro.
Sejarah nasional sebagai macro-historymencakup interaksi antar micro-unit,
antara lain melalui pelayaran, perdagangan, perang, penyiaran agama atau
menuntut pelajaran, hubungan antara lembaga-lembaga nasional, seperti
partai-partai politik. Sejarah nasional bukan jumlah dari sejarah lokal, tetapi
proses-proses atau kejadian-kejadian pada tingkat sejarah lokal diterangkan
dalam hubungannya dengan proses nasional (Rohman, 2013).
Historiografi
modern, merupakan suatu periode perkembangan baru dalam historiografi
Indonesia atau nasional. Diawali dengan munculnya karya Husein
Djajadiningrat, Critische Beschouwingen van de Sejarah Banten,
kemudian karyakarya sejarah sejarah selanjutnya banyak dipengaruhi oleh
karya ini, yaitu dengan dipergunakannya aspek pendekatan ilmu lain untuk
melengkapi atau menulis suatu karya sejarah
(Indriyanto, 2001, hal. 2). Di Jaman Jepang Sanusi Pane dan Douwes Dekker sudah
memelopori menulis Sejarah Indonesia dengan semangat nasionalisme. Karya mereka
walaupun dari sudut ilmiah tidak mendapat penilaian yang tinggi, namun telah banyak
membantu guru yang mengajar sejarah Indonesia pada zaman Jepang dan jaman
berikutnya (Dasuki, 2003, hal. 349).
Sejumlah tulisan
sebagai suatu kategori pemikiran teoritis dan metodologis untuk menangani
masalah-masalah penulisan sejarah nasional Indonesia, secara komprehensif
dipublikasikan antara lain karya Mohamad Ali dengan Judul
Pengantar Ilmu Sedjarah Indonesia dan Sartono Karotdirdjo yang menerapkan
metode yang sophisticated dengan pendekatan neo sosial ilmiah dengan
menggunakan konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu-ilmu sosial. Pendekatan yang
digunakan bersifat multidimensional. Dibedakan pula antara sejarah naratif dan
non naratif (Dasuki, 2003, hal. 350).
Sejarah naratif,
sebagai hasil dari historiografi konvensional, menyusun cerita untuk membuat
deskripsi tentang masa lampau dengan merekontruksi “apa yang terjadi” melalui
seleksi “kejadian-kejadian” penting yang diatur menurut poros waktu dalam
urutan kronologis. Sedangkan sejarah non-naratif tidak menyusun certera yang
merangkaikan deretan peristiwa menurut poros waktu, tetapi berpusat pada
masalah (problem oriented).
Karakteristik
historiografi modern adalah sebagai berikut:
1.
Bersifat Indonesia
sentrisme, penulisan sejarah di Indonesia diinterpretasikan sebagai sejarah
nasional (Dasuki, 2003, hal. 348) dan ditulis dari sudut kepentingan rakyat
Indonesia. Tugas dari historiografi nasional adalah“membongkar dan
merevisi” historiografi kolonial yang gaya penulisannya diselewengkan
oleh para sejarawan kolonial yang sangat merugikan proses pembangunan,
khususnya pembangunan sikap mental bangsa (terutama generasi muda)
Indonesia dewasa ini (Jayusman, 2012).
2.
Bersifat metodologis,
artinya penulisan sejarah Indonesia menggunakan pendekatan ilmiah berdasarkan
teknik penulisan ilmiah untuk ilmu sosial.
Sebagai warga negara indonesia generasi penerus bangsa harus mengerti sejarah historiografi demi menjunjung tinggi pejuang kehidupan seharusnya di teladani akhlak yang mulia kepribadian baik, benar dan adil sesuai etika pancasila adil dan bijaksana saling tolong menolong ada damai dalam kegiatan sehari hari demi masadepan indonesia maju bersatu bangkit semangat sejahtera.
BalasHapus