INDETIFIKASI DAMPAK NEGATIF DARI MASALAH KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP
INDETIFIKASI
DAMPAK NEGATIF DARI MASALAH KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah PKLH
Dosen Pengampu: Puji Lestari
M.Hum
Disusun Oleh:
KELOMPOK 8
1.
Didin
Harianto (09406244001)
2.
Dita Rosy Bunaya (09406244047)
JURUSAN PENDIDIKAN
SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
KATA
PENGANTAR
Assalamualikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kepada
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik.
Tulisan ini disusun oleh tim penulis
selain sebagai tindak lanjut melaksanakan tugas mata kuliah PKLH juga sebagai pembantu
kita dalam memahami materi yang akan kami uraikan yaitu Identifikasi Dampak Negatif dari Masalah Kependudukan dan
Lingkungan Hidup.
Dalam penyusunan tugas ini, kami
menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kami harapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat.
Wassalamualaikum wr.wb.
Yogyakarta, 24 Febuari 2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Menurut UU.No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain. Daya
Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pengertian (Konsep) dan Ruang Lingkup Daya Dukung
Lingkungan Menurut UU no 23/ 1997, daya dukung lingkungan hidup adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk
hidup lain. Menurut Soemarwoto (2001), daya dukung lingkungan pada hakekatnya
adalah daya dukung lingkungan alamiah, yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan
hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu di daerah
itu. Menurut Khanna (1999), daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2
(dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas
tampung limbah (assimilative capacity).
Dalam catatan sejarah menunjukan bahwa
dalam tahun 1 Masehi penduduk dunia kira-kira hanya 300 juta orang. Meskipun
kecendrungan umumnya jumlah penduduk dunia itu meningkat, namun pencapaian
jumlah 600 juta memakan waktu selama lebih dari 1.500 tahun. Semua itu di akibatkan
karena jumlah kelahiran lebih sedikit dari pada jumlah kematian karena wabah
dan perang.[1]
Pada tahun 1750 samapi masuk abad ke 20, penduduk dunia mencapai angka
pertubuhan 0,5 persen per tahun. Di negeri-negeri yang kini menjadi negara
maju, hal itu berlangsung lebih cepat dari pada di kawasan-kawasan lainya, hal
mana berkaitan erat dengan tingkat kemajuan masyarakat (pendidikan dan cara
hidup) dan ilmu maupun teknologi[2].
Alasan penulis dalam memilih bahab tetang identifikasi dampak negatif dari
masalah kependudukan dan lingkungan hidup adalah selain sebagai tugas dalam
mata kuliah PKLH juga karena rasa keingin tahuan mengenai dampak yang di
timbulkan dari perbuatan manusia dan cara mengatasinya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa dampak
yang di timbulkan dari kependudukan dan lingkungan hidup?
2.
Bagaimana
cara mengatasi atau mencegah dampak negatif dari kependudukan dan lingkungan
hidup?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui dampak yang ditimbulkan dari kependudukan dan lingkungan hidup.
2.
Unuk
mengetahui cara mengatasi atau mencegah dampak negatif dari kependudukan dan
lingkungan hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dampak
dari Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Besarnya jumlah penduduk karena jumlah kelahiran lebih
besar dari pada jumlah kematian.[3] Dampak
besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang
diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan manusia. Permasalahan mengenai lingkungan yang kerap
ditemui dalam kaitannya dengan bidang penataan ruang antara lain dapat
ditemukan dalam contoh kasus sebagai berikut:
- Alih
fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian seperti
industri, permukiman, prasarana umum, dan lain sebagainya[4].
Secara keseluruhan, alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan
budidaya (pertanian, industri, permukiman, dan sebagainya) mencapai 50.000
ha/ tahun.[5]
- Penurunan
secara signifikan luas hutan tropis sebagai kawasan resapan air.
Pengurangan ini terjadi baik akibat kebakaran maupun akibat penjarahan ataupenggundulan. Apabila tidak diambil
langkah-langkah tepat maka kerusakan hutan akan menyebabkan run-off yang
besar pada kawasan hulu-hilir, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir
pada wilayah hilir, mengganggu siklus hidrologis, dan memperluas
kelangkaan air bersih dalam jangka panjang.
- Kosentrasi dan sifat kimiawi bahan pencemar yang
masuk ke air permukaan mengalami perubahan sebagai akibat empat proses
ilmiah yaitu: pengeceran, biodegredasi, penigkatan biologis, dan
sedimentasi.[6]
Meningkatnya
satuan wilayah sungai (SWS) yang kritis. Pada tahun 1984, tercatat dari
total 89 SWS yang ada di Indonesia, 22 SWS berada dalam kondisi kritis.
Kondisi ini terus memburuk dimana pada tahun 1992 jumlah SWS yang kritis
meningkat menjadi 39 SWS dan pada tahun 1998 membengkak menjadi 59 SWS.
Kebijakan nasional penataan ruang secara formal
ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang [UU 24/1992], yang kemudian diperbaharui dengan
Undangundang Nomor 26 Tahun 2007 [UU 26/2007]. Kebijakan tersebut ditujukan
untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh
undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan
tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung
sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi
dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan
lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan
maupun di kawasan perdesaan.[7]
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional
penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak
direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu,
penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/
2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik
agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas
rencana tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas
rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau
Strategic Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu
melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang
wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.
KLHS adalah suatu proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak
lingkungan, pertimbangan sosial dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan dari
usulan kebijakan, rencana, atau program pembangunan. Operasionalisasi dari
definisi tersebut dalam konteks pemanfaatannya bagi perumusan kebijakan
pembangunan adalah:
- Apapun
definisi KLHS yang akan dikonstruksikan, definisi tersebut tidak harus
eksklusif, tidak harus menjadi rujukan tunggal, dan tidak harus menegaskan
definisi lain yang kemungkinan akan timbul dan dikonstruksikan oleh para
akademisi, praktisi, atau institusi tertentu.
- Definisi
KLHS setidaknya perlu mengandung 4 komponen:
- Diselenggarakan pada tahap awal perumusan kebijakan, rencana,
dan program (KRP)
- Menelaah dampak lingkungan dari KRP
- Mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi
- Mempertimbangkan aspek keberlanjutan
Tujuan KLHS pada umumnya mencakup hal-hal
sebagai berikut:
- Memberi
kontribusi terhadap proses pengambilan keputusan agar keputusan yang
diambil berorientasi pada keberlanjutan dan lingkungan hidup melalui
tahapan sebagai berikut:
- Mengidentifikasi efek atau pengaruh lingkungan yang akan timbul
- Mempertimbangkan alternatif-alternatif yang ada, termasuk
pilihan mengenai praktek-praktek pengelolaan lingkungan hidup yang baik
- Antisipasi dan pencegahan terhadap dampak lingkungan pada
sumber persoalan
- Peringatan dini atas dampak kumulatif dan resiko global yang
akan muncul
- Aplikasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
- Hasil dari berbagai kontribusi KLHS tersebut adalah
meningkatnya mutu kebijakan, rencana dan program (KRP) yang dihasilkan
- Memperkuat
dan memfasilitasi AMDAL, melalui:
- Identifikasi sejak dini lingkup dan dampak potensial serta
kebutuhan informasi
- Identifikasi isu-isu dan pandangan-pandangan strategis yang
berkaitan dengan justifikasi proyek atau rencana usaha/ kegiatan
- Penghematan tenaga dan waktu yang dicurahkan untuk kajian
- Mendorong
pendekatan atau cara baru untuk pengambilan keputusan, melalui:
- Integrasi pertimbangan lingkungan dan penerapan
prinsip-prinsip keberlanjutan dalam proses pengambilan keputusan
- Dialog dan diskusi dengan para pihak yang berkepentingan dan
penyelenggaraan konsultasi publik
- Akuntabilitas dan transparansi dalam merancang,
memformulasikan dan memutuskan kebijakan, rencana dan program
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari KLHS
adalah:
- Merupakan
instrumen proaktif dan sarana pengambilan keputusan
- Mengidentifikasi
dan mempertimbangkan peluang- peluang baru melalui pengkajian secara
sistematis dan cermat atas opsi-opsi pembangunan yang tersedia
- Mempertimbangkan
aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang pengambilan
keputusan yang lebih tinggi
- Mencegah
kesalahan investasi dengan mengingatkan pengambil keputusan akan adanya
peluang pembangunan yang tidak berkelanjutan sejak tahap awal proses
pengambilan keputusan
- Tata
pengaturan (governance) yang lebih baik berkat terbangunnya keterlibatan
para pihak (stakeholders) dalam proses pengambilan keputusan melalui
proses konsultasi dan partisipasi.[8]
- Melindungi
aset-aset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjamin
berlangsungnya menjamin berlangsungnya pembangunan berkelanjutan
- Memfasilitasi
kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi pemanfaatan
sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif dampak lingkungan.
B.
Cara Mengatasi atau
Mencegah Dampak yang Ditimbulkan dari Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Secara
umum mitigasi lingkungan adalah merupakan upaya-upaya untuk mencegah dampak
negatif yang diperkirakan akan terjadi atau telah terjadi karena adanya
rencana kegiatan atau menanggulangi dampak negatif yang timbul sebagai akibat
adanya suatu kegiatan atau usaha.
Mitigasi Lingkungan dalam konteks mencegah atau mengendalikan dampak negatif
dari suatu rencana kegiatan dapat dilakukan melalui proses analisis mengenai
dampak lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan atau Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL). Analisis mengenai
dampak lingkungan diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1982
tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.[9]
Pembangunan
kawasan transmigrasi yang selama ini dilaksanakan pada dasarnya merubah
ekosistem alami yang bersifat stabil menjadi ekosistem buatan atau binaan yang tidak
stabil.[10]
Lahan dengan kelerengan tertentu ( > 3 %) yang dibuka. dan curah hujan yang
tinggi akan menyebabkan terjadinya erosi sehingga tanah menjadi tidak subur.[11]
Perubahan vegetasi hutan yang heterogen menjadi tanaman budidaya pertanian yang
homogen akan menyebabkan timbulnya hama penyakit tanaman atau organisme
pengganggu. Kondisi ini menuntut adanya upaya pengelolaan lingkungan agar
fungsi lingkungan di kawasan transmigrasi tetap lestari. Dalam rangka
pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pada pembangunan kawasan transmigrasi,
melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi telah
menetapkan kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan. Hal ini berarti mengintegrasikan
aspek lingkungan hidup pada setiap tahapan proses pembangunan kawasan
transmigrasi.
Sebagai
implementasi kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi yang berwawasan
lingkungan, setiap terjadi
pembangunan kawasan transmigrasi
yang baru (PTB)
maka upaya mitigasi lingkungan dilakukan melalui proses AMDAL atau UKL/UPL.
Bagi pengembangan kawasan transmigrasi yang sudah ada (PTA) dengan tidak
merubah rencana usaha, maka mitigasi dampak lingkungan negatif yang telah
terjadi dilakukan melalui proses penanggulangan masalah lingkungan. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh
perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan yang termasuk dalam
langkah-langkah mitigasi lingkungan adalah:
1. Menghindarkan
impak suatu kegiatan dengan melakukan pembatalan, modifikasi atau menghilangkan
beberapa tahapan tertentu.
2. Memperkecil
impak dengan membatasi skala kegiatan.
3. Memperbaiki
suatu yang merusak lingkungan dengan melakukan restorasi, repairing atau
rehabilitasi.
4. Mengurangi
atau menghilangkan impak yang sedang terjadi dengan pengelolaan yang tepat dan
effisien.
5. Memberikan
kompensasi suatu impak melalui relokasi, pembangunan fasilitas baru, pembuktian
yang masuk akal (sound proofing), penyejukan (airconditioning).
6. Memberikan
perlakuan yang sebaik-baiknya terhadap semua yang terkena dampak.
7. Melakukan
daur ulang material.
8. Memanfaatkan
teknologi yang paling minimal menghasilkan limbah.
Untuk
mencegah atau menanggulangi dampak lingkungan negatif dapat menggunakan salah
satu atau beberapa pendekatan lingkungan secara teknologi, sosial ekonomi maupun
kelembagaan dan Stakeholder.[12]
a.
Pendekatan Teknologi
Mitigasi
lingkungan melalui pendekatan teknologi adalah cara-cara atau penggunaan
teknologi untuk menanggulangi dampak negatif lingkungan. Teknologi yang akan
diterapkan oleh masyarakat (transmigran) harus mempertimbangkan kemampuan dan
keahlian transmigran serta budaya setempat. Contoh :
1.
Penanggulangan erosi dengan sistem terasering
2.
Pemberantasan hama penyakit tanaman dengan cara pemberantasan hama terpadu.
b. Pendekatan
Sosial Ekonomi Budaya
Ketergantungan
sistim sosial pada lingkungan sekitarnya perlu dicermati karena dapat
meningkatkan eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam lokasi. Selain itu,
kemungkinan terjadinya intrusi dan akulturasi budaya di kawasan transmigrasi
dapat memicu terjadinya konflik sosial. Peralihan sistem ekonomi lokal dan mata
pencaharian menimbulkan terjadinya kesenjangan sosial. Pendekatan Sosial
Ekonomi Budaya merupakan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam menanggulangi
dampak lingkungan melalui upaya-upaya sosial atau tindakan-tindakan yang
bermotifkan sosial ekonomi misalnya;
1.
Melibatkan masyarakat
disekitar lokasi kegiatan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan mitigasi
lingkungan
2.
Memprioritaskan
penyerapan tenaga kerja setempat dalam mitigasi lingkungan
3.
Menjalin interaksi
sosial yang harmonis antara transmigran dengan penduduk sekitar.
c.
Pendekatan Kelembagaan
dan Stakeholder.
Kelembagaan merupakan salah satu unsur penting yang menentukan
keberlanjutan dan berjalannya suatu program secara berkesinambungan. Kerjasama
dan hubungan baik antara lembaga terkait dan stakeholders sangat diperlukan
dalam penyusunan pedoman mitigasi lingkungan. Berbagai entitas terkait
tersebut meliputi: (1). Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi, Direktorat
Bina Cipta Keserasian Lingkungan ); (2). Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup; (3). Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Universitas; (4). Pemerintah
Daerah; (5). Komite Perumus Independen; (6) Lembaga Swadaya Masyarakat; (7)
Anggota Masyarakat; (8) Pelaksana; dan (9) Pengawas.
a.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi, Direktorat
Bina Cipta Keserasian Lingkungan).
Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrsi melalui Direktorat Bina Cipta Keserasian
Lingkungan merupakan institusi yang bertanggung jawab langsung pada semua
permasalahan yang timbul akibat kegiatan transmigrasi baik langsung maupun
tidak langsung termasuk juga dampak lingkungan yang terjadi.
b.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH)
Kerjasama
dan dukungan dari KMNLH diperlukan terutama dalam pembangunan kawasan
transmigrsi baru ( PTB ), dimana upaya mitigasi lingkungannya dilakukan melalui
proses AMDAL atau UKL/UPL.
c.
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Universitas.
Fungsi
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Universitas adalah untuk mebantu pelaksanaan
inventarisasi data dan analisa dampak lingkungan yang terjadi di kawasan
transmigrasi. Kompetensi dan keahlian lembaga ini dapat membantu dalam
penelitian dan analisa secara komprehensip dan terpadu.
d. Pemerintah
Daerah.
Partisipasi
pemerintah daerah diperlukan karena program-program mitigasi lingkungan harus
sesuai dengan program-program pemerintah daerah agar terjadi kesesuaian.
Kerjasama dengan pemerintah daerah mutlak diperlukan untuk memperoleh dukungan
dan masukan program yang sesuai dengan daerah setempat.
e. Komite Perumus Independen
Perlu
dibentuk komite khusus yang bertanggung jawab terhadap penyusunan Program
Mitigasi Lingkungan. Komite ini harus netral agar dapat menerima input dan
saran serta kepentingan dari pihak untuk diakomodasi dalam Program Mitigasi
Lingkungan. Anggota komite harus mampu bekerja sama dan memeiliki hubungan yang
baik dengan stakeholders lainnya. Anggota komite dapat merupakan konsorsium dari
beberapa instansi erkait, tetapi dapat juga individu yang kompeten dengan tetap
melakukan koordinasi dengan instansi terkait, seperti KMNLH, Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Universitas, LSM, Pemda, dan anggota masyarakat
f.
Lembaga
Swadaya Masyarakat ( LSM )
Peran
LSM dalam pelaksanaan program mitigasi lingkunan adalah sebagai pendamping dan
motor penggerak bagi masyarakat lokal baik asli maupun pendatang untuk turut
berpartisipasi dalam pelaksanaan mitigasi lingkungan. LSM lokal memiliki banyak
masukan mengenai kondisi daerah serta program yang sesuai dan dapat ditetapkan.
g.
Anggota Masyarakat.
Anggota
masyarakat dalam hal ini adalah penduduk asli daerah maupun pendatang yang
harus didorong untuk bersama-sama dan bahu membahu melaksanakan program
mitigasi lingkungan.
h.
Pelaksana
Pelaksana
adalah institusi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan mitigasi lingkungan.
i.
Pengawas
Pengawas
adalah institusi atau unit kerja yang berperan sebagai pengawas/pengendali
mitigasi lingkungan. Pendekatan
Kelembagaan dan Stakeholders adalah berupa mekanisme kelembagaan yang akan
ditempuh dalam rangka menanggulangi dampak penting lingkungan, misal :
1.
Kerjasama dengan
instansi-instansi yang berkepentingan dengan mitigasi lingkungan.
2.
Pengawasan terhadap
kinerja mitigasi ligkungan oleh instansi yang berwenang.
3.
Pelaporan hasil
mitigasi lingkungan secara berkala kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pesatnya laju pertumbuhan manusia di dunia
yang kelahiran lebih besar di bandingkan dengan kematian mengakibatkan
meledaknya populasi manusia di dunia. Dalam hal ini karena jumlah manusia sangat
banyak mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan yang di perlukan untuk
kehidupan mulai dari tempat tinggal, pakaian, makanan dan lain-lain. Semua itu
di dapat dari alam dan dalam prosesnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut
manusia melupakan akibat yang akan di terima karena telah mengeksploitasi alam
secara besar-besaran tanpa peduli akan keberlangsungan dari alam sehingga
menyebabkan adanya bencana alam seperti banjir, erosi dan lain-lain yang
mengancam kehidupan manusia.
DAPTAR PUSTAKA
___. 1974. Hasil Rakerkatnas Sindaglaya. Jakarta:
Yayasan Cipta Loka Caraka.
Suwardi MP,
dkk. 1988. Pendidikan Kebudayaan dan
Lingkungan Hidup. Jakarta: Dinas Pendidikan dan Kubudayaan.
Doda, Johosua.
1989. Pendidikan Kependudukan dan
Lingkungan Hidup. Jakarta: DEKDIKBUD.
Heer, David M.
1985. Masalah Kependudukan di Negara
Berkembang. Jakarta: PT. BINA AKSARA.
Komentar
Posting Komentar