INDETIFIKASI DAMPAK NEGATIF DARI MASALAH KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP

INDETIFIKASI DAMPAK NEGATIF DARI MASALAH KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah PKLH
Dosen Pengampu: Puji Lestari M.Hum

 








Disusun Oleh:
KELOMPOK 8
1.      Didin Harianto                   (09406244001)
2.      Dita Rosy Bunaya              (09406244047)


JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
KATA PENGANTAR


            Assalamualikum wr.wb.

            Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik.
            Tulisan ini disusun oleh tim penulis selain sebagai tindak lanjut melaksanakan tugas mata kuliah PKLH juga sebagai pembantu kita dalam memahami materi yang akan kami uraikan yaitu Identifikasi Dampak Negatif dari Masalah Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
            Dalam penyusunan tugas ini, kami menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami harapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat.

            Wassalamualaikum wr.wb.

                                                                                     Yogyakarta, 24 Febuari 2011

                                                                                                Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menurut UU.No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pengertian (Konsep) dan Ruang Lingkup Daya Dukung Lingkungan Menurut UU no 23/ 1997, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Menurut Soemarwoto (2001), daya dukung lingkungan pada hakekatnya adalah daya dukung lingkungan alamiah, yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu di daerah itu. Menurut Khanna (1999), daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).
Dalam catatan sejarah menunjukan bahwa dalam tahun 1 Masehi penduduk dunia kira-kira hanya 300 juta orang. Meskipun kecendrungan umumnya jumlah penduduk dunia itu meningkat, namun pencapaian jumlah 600 juta memakan waktu selama lebih dari 1.500 tahun. Semua itu di akibatkan karena jumlah kelahiran lebih sedikit dari pada jumlah kematian karena wabah dan perang.[1] Pada tahun 1750 samapi masuk abad ke 20, penduduk dunia mencapai angka pertubuhan 0,5 persen per tahun. Di negeri-negeri yang kini menjadi negara maju, hal itu berlangsung lebih cepat dari pada di kawasan-kawasan lainya, hal mana berkaitan erat dengan tingkat kemajuan masyarakat (pendidikan dan cara hidup) dan ilmu maupun teknologi[2]. Alasan penulis dalam memilih bahab tetang identifikasi dampak negatif dari masalah kependudukan dan lingkungan hidup adalah selain sebagai tugas dalam mata kuliah PKLH juga karena rasa keingin tahuan mengenai dampak yang di timbulkan dari perbuatan manusia dan cara mengatasinya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa dampak yang di timbulkan dari kependudukan dan lingkungan hidup?
2.      Bagaimana cara mengatasi atau mencegah dampak negatif dari kependudukan dan lingkungan hidup?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari kependudukan dan lingkungan hidup.
2.      Unuk mengetahui cara mengatasi atau mencegah dampak negatif dari kependudukan dan lingkungan hidup.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dampak dari Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Besarnya jumlah penduduk karena jumlah kelahiran lebih besar dari pada jumlah kematian.[3] Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan manusia.  Permasalahan mengenai lingkungan yang kerap ditemui dalam kaitannya dengan bidang penataan ruang antara lain dapat ditemukan dalam contoh kasus sebagai berikut:
  1. Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian seperti industri, permukiman, prasarana umum, dan lain sebagainya[4]. Secara keseluruhan, alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya (pertanian, industri, permukiman, dan sebagainya) mencapai 50.000 ha/ tahun.[5]
  2. Penurunan secara signifikan luas hutan tropis sebagai kawasan resapan air. Pengurangan ini terjadi baik akibat kebakaran maupun akibat penjarahan ataupenggundulan. Apabila tidak diambil langkah-langkah tepat maka kerusakan hutan akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu-hilir, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir, mengganggu siklus hidrologis, dan memperluas kelangkaan air bersih dalam jangka panjang.
  3. Kosentrasi dan sifat kimiawi bahan pencemar yang masuk ke air permukaan mengalami perubahan sebagai akibat empat proses ilmiah yaitu: pengeceran, biodegredasi, penigkatan biologis, dan sedimentasi.[6] Meningkatnya satuan wilayah sungai (SWS) yang kritis. Pada tahun 1984, tercatat dari total 89 SWS yang ada di Indonesia, 22 SWS berada dalam kondisi kritis. Kondisi ini terus memburuk dimana pada tahun 1992 jumlah SWS yang kritis meningkat menjadi 39 SWS dan pada tahun 1998 membengkak menjadi 59 SWS.
Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang [UU 24/1992], yang kemudian diperbaharui dengan Undangundang Nomor 26 Tahun 2007 [UU 26/2007]. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.[7]
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/ 2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.
KLHS adalah suatu proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan, pertimbangan sosial dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan dari usulan kebijakan, rencana, atau program pembangunan. Operasionalisasi dari definisi tersebut dalam konteks pemanfaatannya bagi perumusan kebijakan pembangunan adalah:
  • Apapun definisi KLHS yang akan dikonstruksikan, definisi tersebut tidak harus eksklusif, tidak harus menjadi rujukan tunggal, dan tidak harus menegaskan definisi lain yang kemungkinan akan timbul dan dikonstruksikan oleh para akademisi, praktisi, atau institusi tertentu.
  • Definisi KLHS setidaknya perlu mengandung 4 komponen:
    1. Diselenggarakan pada tahap awal perumusan kebijakan, rencana, dan program (KRP)
    2. Menelaah dampak lingkungan dari KRP
    3. Mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi
    4. Mempertimbangkan aspek keberlanjutan
Tujuan KLHS pada umumnya mencakup hal-hal sebagai berikut:
  1. Memberi kontribusi terhadap proses pengambilan keputusan agar keputusan yang diambil berorientasi pada keberlanjutan dan lingkungan hidup melalui tahapan sebagai berikut:
    • Mengidentifikasi efek atau pengaruh lingkungan yang akan timbul
    • Mempertimbangkan alternatif-alternatif yang ada, termasuk pilihan mengenai praktek-praktek pengelolaan lingkungan hidup yang baik
    • Antisipasi dan pencegahan terhadap dampak lingkungan pada sumber persoalan
    • Peringatan dini atas dampak kumulatif dan resiko global yang akan muncul
    • Aplikasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
    • Hasil dari berbagai kontribusi KLHS tersebut adalah meningkatnya mutu kebijakan, rencana dan program (KRP) yang dihasilkan
  2. Memperkuat dan memfasilitasi AMDAL, melalui:
    • Identifikasi sejak dini lingkup dan dampak potensial serta kebutuhan informasi
    • Identifikasi isu-isu dan pandangan-pandangan strategis yang berkaitan dengan justifikasi proyek atau rencana usaha/ kegiatan
    • Penghematan tenaga dan waktu yang dicurahkan untuk kajian
  3. Mendorong pendekatan atau cara baru untuk pengambilan keputusan, melalui:
    • Integrasi pertimbangan lingkungan dan penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam proses pengambilan keputusan
    • Dialog dan diskusi dengan para pihak yang berkepentingan dan penyelenggaraan konsultasi publik
    • Akuntabilitas dan transparansi dalam merancang, memformulasikan dan memutuskan kebijakan, rencana dan program
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari KLHS adalah:
  1. Merupakan instrumen proaktif dan sarana pengambilan keputusan
  2. Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang- peluang baru melalui pengkajian secara sistematis dan cermat atas opsi-opsi pembangunan yang tersedia
  3. Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi
  4. Mencegah kesalahan investasi dengan mengingatkan pengambil keputusan akan adanya peluang pembangunan yang tidak berkelanjutan sejak tahap awal proses pengambilan keputusan
  5. Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat terbangunnya keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam proses pengambilan keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi.[8]
  6. Melindungi aset-aset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjamin berlangsungnya menjamin berlangsungnya pembangunan berkelanjutan
  7. Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi pemanfaatan sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif dampak lingkungan.
B.     Cara Mengatasi atau Mencegah Dampak yang Ditimbulkan dari Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Secara umum mitigasi lingkungan adalah merupakan upaya-upaya untuk mencegah dampak negatif yang diperkirakan akan terjadi atau  telah terjadi karena adanya rencana kegiatan atau menanggulangi dampak negatif yang timbul sebagai akibat adanya suatu kegiatan atau usaha. Mitigasi Lingkungan dalam konteks mencegah atau mengendalikan dampak negatif dari suatu rencana kegiatan dapat dilakukan melalui proses analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan atau Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Analisis mengenai dampak lingkungan diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.[9]
Pembangunan kawasan transmigrasi yang selama ini dilaksanakan pada dasarnya merubah ekosistem alami yang bersifat stabil menjadi ekosistem buatan atau binaan yang tidak stabil.[10] Lahan dengan kelerengan tertentu ( > 3 %) yang dibuka. dan curah hujan yang tinggi akan menyebabkan terjadinya erosi sehingga tanah menjadi tidak subur.[11] Perubahan vegetasi hutan yang heterogen menjadi tanaman budidaya pertanian yang homogen akan menyebabkan timbulnya hama penyakit tanaman atau organisme pengganggu. Kondisi ini menuntut adanya upaya pengelolaan lingkungan agar fungsi lingkungan di kawasan transmigrasi tetap lestari. Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pada pembangunan kawasan transmigrasi, melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi telah menetapkan kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Hal ini berarti mengintegrasikan aspek lingkungan hidup pada setiap tahapan proses pembangunan kawasan transmigrasi.
Sebagai implementasi kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan, setiap terjadi pembangunan kawasan transmigrasi yang baru (PTB) maka upaya mitigasi lingkungan dilakukan melalui proses AMDAL atau UKL/UPL. Bagi pengembangan kawasan transmigrasi yang sudah ada (PTA) dengan tidak merubah rencana usaha, maka mitigasi dampak lingkungan negatif yang telah terjadi dilakukan melalui proses penanggulangan masalah lingkungan. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan yang termasuk dalam langkah-langkah mitigasi lingkungan adalah:
1.      Menghindarkan impak suatu kegiatan dengan melakukan pembatalan, modifikasi atau menghilangkan beberapa tahapan tertentu. 
2.      Memperkecil impak dengan membatasi skala kegiatan.
3.      Memperbaiki suatu yang merusak lingkungan dengan melakukan restorasi, repairing atau rehabilitasi.
4.      Mengurangi atau menghilangkan impak yang sedang terjadi dengan pengelolaan yang tepat dan effisien.
5.      Memberikan kompensasi suatu impak melalui relokasi, pembangunan fasilitas baru, pembuktian yang masuk akal (sound proofing), penyejukan (airconditioning).
6.      Memberikan perlakuan yang sebaik-baiknya terhadap semua yang terkena dampak.
7.      Melakukan daur ulang material.
8.      Memanfaatkan teknologi yang paling minimal menghasilkan limbah.
Untuk mencegah atau menanggulangi dampak lingkungan negatif dapat menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan secara teknologi, sosial ekonomi maupun kelembagaan dan Stakeholder.[12]
a.      Pendekatan Teknologi
Mitigasi lingkungan melalui pendekatan teknologi adalah cara-cara atau penggunaan teknologi untuk menanggulangi dampak negatif lingkungan. Teknologi yang akan diterapkan oleh masyarakat (transmigran) harus mempertimbangkan kemampuan dan keahlian transmigran serta budaya setempat. Contoh :
1.    Penanggulangan erosi dengan sistem terasering
2.    Pemberantasan hama penyakit tanaman dengan cara pemberantasan hama terpadu.
b.  Pendekatan Sosial Ekonomi Budaya
Ketergantungan sistim sosial pada lingkungan sekitarnya perlu dicermati karena dapat meningkatkan eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam lokasi. Selain itu, kemungkinan terjadinya intrusi dan akulturasi budaya di kawasan transmigrasi dapat memicu terjadinya konflik sosial. Peralihan sistem ekonomi lokal dan mata pencaharian menimbulkan terjadinya kesenjangan sosial. Pendekatan Sosial Ekonomi Budaya merupakan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam menanggulangi dampak lingkungan melalui upaya-upaya sosial atau tindakan-tindakan yang bermotifkan sosial ekonomi misalnya;
1.  Melibatkan masyarakat disekitar lokasi kegiatan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan mitigasi lingkungan
2.  Memprioritaskan penyerapan tenaga kerja setempat dalam mitigasi lingkungan
3.  Menjalin interaksi sosial yang harmonis antara transmigran dengan penduduk sekitar.
c.       Pendekatan Kelembagaan dan Stakeholder.
Kelembagaan merupakan salah satu unsur penting yang menentukan keberlanjutan dan berjalannya suatu program secara berkesinambungan. Kerjasama dan hubungan baik antara lembaga terkait dan stakeholders sangat diperlukan dalam penyusunan pedoman mitigasi lingkungan. Berbagai entitas terkait tersebut  meliputi: (1). Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi ( Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi, Direktorat Bina Cipta Keserasian Lingkungan ); (2). Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup; (3). Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Universitas; (4). Pemerintah Daerah; (5). Komite Perumus Independen; (6) Lembaga Swadaya Masyarakat; (7) Anggota Masyarakat; (8) Pelaksana; dan (9) Pengawas.   
a.                        Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi, Direktorat Bina Cipta Keserasian Lingkungan).
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrsi melalui Direktorat Bina Cipta Keserasian Lingkungan merupakan institusi yang bertanggung jawab langsung pada semua permasalahan yang timbul akibat kegiatan transmigrasi baik langsung maupun tidak langsung termasuk juga dampak lingkungan yang terjadi.
b.                       Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH)
Kerjasama dan dukungan dari KMNLH diperlukan terutama dalam pembangunan kawasan transmigrsi baru ( PTB ), dimana upaya mitigasi lingkungannya dilakukan melalui proses AMDAL atau UKL/UPL.
c.                        Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Universitas.
Fungsi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Universitas adalah untuk mebantu pelaksanaan inventarisasi data dan analisa dampak lingkungan yang terjadi di kawasan transmigrasi. Kompetensi dan keahlian lembaga ini dapat membantu dalam penelitian dan analisa secara komprehensip dan terpadu.
d.   Pemerintah Daerah.
Partisipasi pemerintah daerah diperlukan karena program-program mitigasi lingkungan harus sesuai dengan program-program pemerintah daerah agar terjadi kesesuaian. Kerjasama dengan pemerintah daerah mutlak diperlukan untuk memperoleh dukungan dan masukan program yang sesuai dengan daerah setempat.
e.   Komite Perumus Independen
Perlu dibentuk komite khusus yang bertanggung jawab terhadap penyusunan Program Mitigasi Lingkungan. Komite ini harus netral agar dapat menerima input dan saran serta kepentingan dari pihak untuk diakomodasi dalam Program Mitigasi Lingkungan. Anggota komite harus mampu bekerja sama dan memeiliki hubungan yang baik dengan stakeholders lainnya. Anggota komite dapat merupakan konsorsium dari beberapa instansi erkait, tetapi dapat juga individu yang kompeten dengan tetap melakukan koordinasi dengan instansi terkait, seperti KMNLH, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Universitas, LSM, Pemda, dan anggota masyarakat
f.   Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM )  
Peran LSM dalam pelaksanaan program mitigasi lingkunan adalah sebagai pendamping dan motor penggerak bagi masyarakat lokal baik asli maupun pendatang untuk turut berpartisipasi dalam pelaksanaan mitigasi lingkungan. LSM lokal memiliki banyak masukan mengenai kondisi daerah serta program yang sesuai dan dapat ditetapkan.
g.   Anggota Masyarakat.
Anggota masyarakat dalam hal ini adalah penduduk asli daerah maupun pendatang yang harus didorong untuk bersama-sama dan bahu membahu melaksanakan program mitigasi lingkungan.
h.  Pelaksana
Pelaksana adalah institusi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan mitigasi lingkungan.
i.   Pengawas    
Pengawas adalah institusi atau unit kerja yang berperan sebagai pengawas/pengendali mitigasi lingkungan. Pendekatan Kelembagaan dan Stakeholders adalah berupa mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh dalam rangka menanggulangi dampak penting lingkungan, misal :
1.            Kerjasama dengan instansi-instansi yang berkepentingan dengan mitigasi lingkungan.
2.            Pengawasan terhadap kinerja mitigasi ligkungan oleh instansi yang berwenang.
3.            Pelaporan hasil mitigasi lingkungan secara berkala kepada pihak-pihak yang berkepentingan.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pesatnya laju pertumbuhan manusia di dunia yang kelahiran lebih besar di bandingkan dengan kematian mengakibatkan meledaknya populasi manusia di dunia. Dalam hal ini karena jumlah manusia sangat banyak mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan yang di perlukan untuk kehidupan mulai dari tempat tinggal, pakaian, makanan dan lain-lain. Semua itu di dapat dari alam dan dalam prosesnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia melupakan akibat yang akan di terima karena telah mengeksploitasi alam secara besar-besaran tanpa peduli akan keberlangsungan dari alam sehingga menyebabkan adanya bencana alam seperti banjir, erosi dan lain-lain yang mengancam kehidupan manusia.









DAPTAR PUSTAKA

___. 1974. Hasil Rakerkatnas Sindaglaya. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
Suwardi MP, dkk. 1988. Pendidikan Kebudayaan dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Dinas Pendidikan dan Kubudayaan.
Doda, Johosua. 1989. Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta: DEKDIKBUD.
Heer, David M. 1985. Masalah Kependudukan di Negara Berkembang. Jakarta: PT. BINA AKSARA.





[1] ___, Hasil Rakerkatnas Sindaglaya, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1974, hlm. 9.
[2] Suwardi MP, dkk, Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta: Dinas Pendidikan dan Kubudayaan, 1988, hlm. 84.
[3]David M. Heer, Masalah Kependudukan di Negara Berkembang, Jakarta: PT. BINA AKSARA,1985, hlm. 7.
[4] Ibid., hlm. 88.
[5] Ibid., hlm. 10-12.
[6] Johosua Doda, Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta: DEKDIKBUD, 1989, hlm. 154.
[7]Ibid., hlm. 113.
[8] Ibid., hlm. 197.
[9] Ibid., 119.
[10] Ibid., hlm. 131.
[11] Ibid., hlm. 178.
[12] Ibid., hlm. 99.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HISTORIOAGRAFI EROPA PADA ABAD PERTENGAHAN

Naturalisme, Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Eksistensialisme

PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU