Sejarah Kota Semarang
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Perkotaan
Dosen Pengampu : Terry Irenewaty,
M.Hum
oleh :
Didin Harianto (09406244001)
PENDIDIKAN SEJARAH/B
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat,
hidayah, serta inayahnya yang tercurah kepada kami sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Kota Semarang” Sholawat dan
salam tidak lupa kami tujukan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW
yang senantiasa kita tunggu pertolongannya pada Yaumul Akhir.
Penulisan makalah ini
disusun sebagai salah satu tugas Mata kuliah Sejarah Perkotaan. Dengan makalah
ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai awal mula terbentuknya
kota Semarang, dan makalah ini kami susun berdasarkan berbagai literatur yang
kami baca. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
terlibat dalam membantu penyusunan makalah ini.
Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kakurangan dalam penyusunan makalah
ini, maka dari itu kami memohon masukan-masukan yang konstruktif demi perbaikan
selanjutnya. Demikian yang bisa kami sampaikan kurang lebihnya kami mohon maaf
yang setulus-tulusnya.
Yogyakarta,
10 Maret 2012
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sejarah Perencanaan
kota telah ada sejak berabad-abad lalu diantaranya adalah perencanaan kota
Trowulan, ibu kota kerajaan Majapahit dan ibu kota kerajaan-kerajaan lainnya.
Perencanaan kotanya berdasarkan pada perhitungan tradisi dengan dibarengi dasar
kosmologi. Keberadaan orang-orang asing yang berdatangan ke Indonesia memberi
warna baru dalam perencanaan kota-kota di Indonesia terutama bangsa Belanda.
Dengan ini menandakan walaupun sudah sejak lama perencanaan perkotaan ada
tetapi perencanaan kota modern baru ada pada awal abad XX, seiring masuknya
tekhnologi ke Indonesia.
Sejarah Semarang berawal kurang
lebih pada abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang
menjadi Bergota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah
tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan
pulau-pulau kecil. Pada akhir abad ke-15 M ada seseorang ditempatkan oleh
Kerajaan Demak, dikenal sebagai Pangeran Made Pandan, untuk menyebarkan agama
Islam dari perbukitan Pragota. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur,
dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem
Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang. Sebagai
pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng
Pandan Arang I.
Semarang merupkan salah
satu kota yang di Indonesia yang usianya sudah cukup tua.[1]
Umur dari kota Semarang telah lebih dari 462 tahun. Semarang
merupakan kota utama Provinsi Jawa Tengah, memiliki luas wilayah 373,67 km2
dengan 16 buah kecamatan, Semarang termasuk dalam jajaran kota besar di
Indonesia. Kota semarang diperkirakan sudah ada pada masa
pemerintahan Ki Ageng Pandanaran II, telah mulai terbentruk suatu kota yakni
ada pusat pemerintahan, permukiman, pasar, masjid dan juga alun-alun.
Pembentukan kota Semarang tumbuh mengikuti pola tradisional, tetapi ketika oranga
sing masuk ke Semarang unsur asing juga mulai mempengaruhi pembentukan kota
Semarang. Budaya asing yang memepengaruhi pembetukan kota Semarang antara lain
Tionghoa, Eropa, dan juga Timur Asing lainnya. Letak kota Semarang berada di
daerah pantai utara Pulau Jawa sehingga mempunya pelabuhan untuk bongkar muat.
Pada masa VOC kota semarang dikembangkan untuk kepentngan VOC dan membuat
pelabuhan Jepara tergeser kedudukannya. Semarang tumbuh menjadi kota pelabuhan
penting di Jawa karena wilayah di sekitar Semarang merupkan wilayah yang kaya
akan hasil perkebunan dan lainya yang laku di pasaran dunia. Perkembangan kota
Semarang juga dipengaruhi oleh pembukaan jalus Grote Weg (Jalan Raya Pos) yang
dibangun oleh Dendles pada awal abad XIX.
Semarang adalah kota pesisir
sekaligus kota perbukitan yang unik. Semarang bagian bawah adalah pusat kota
sejak dahulu kala, namun kian lama kian terkena imbas negatif dari pasang air
laut (rob). Semarang bagian atas adalah wilayah baru yang tengah berkembang
dengan pembangunan di sana-sini. Namun, wilayah baru itu tak melulu
menghasilkan keuntungan, melainkan sebaliknya. Wilayah inilah sebenarnya yang
merupakan kunci atas banjir dan tanah longsor selalu melanda Semarang.
Pemerintahan
baru ke depan mestinya sungguh-sungguh melihat posisi sulit dari kedua wilayah
ini secara arif. Solusinya adalah dengan kembali kepada alam, dengan ikhtiar
penuh mengembalikan fungsi pepohonan. Penggalakan yang berwujud penanaman bakau
di beberapa garis pantai perlu diperkencang volumenya. Sebaliknya, pembabatan
habis pepohonan di Semarang atas harus diimbangi dengan peremajaan kembali.
Ada baiknya
Pemerintah merancang ulang pola-pola perkotaan yang efektif. Artinya,
pembangunan gedung, fasilitas jalan, dan sarana-prasarana masyarakat seyogianya
diperhitungkan masak-masak. Dalam hal demikian, masyarakat umum turut
dilibatkan dalam perencanaan pembangunan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka permasalahan yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
sejarah awal terbentuknya kota semanrang?
2.
Bagaimna perencanaan tata kota semarang?
C. Tujuan
Tujuan yang ingin
dicapai penulis dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Mengetahui
awal mula terbentuknya kota Semarang.
2. Mengetahui
perencanaan kota semarang.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Awal
terbentuknya kota Semarang
Sejarah
Semarang berawal kurang lebih pada abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang
bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) dan merupakan bagian dari kerajaan
Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya
terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, yang hingga sekarang
masih terus berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan.
Bagian kota Semarang Bawah yang dikenal sekarang ini dengan demikian dahulu
merupakan laut. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu
sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana
Cheng Ho bersandar pada tahun 1405 M. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng
Ho mendirikan kelenteng dan mesjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan
disebut Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu).”[2]
Pada akhir abad ke-15 M ada
seseorang ditempatkan oleh Kerajaan Demak, dikenal sebagai Pangeran Made
Pandan, untuk menyebarkan agama Islam dari perbukitan Pragota. Dari waktu ke
waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon
asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama
daerah itu menjadi Semarang. Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala
daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I. Sepeninggalnya,
pimpinan daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II (kelak
disebut sebagai Sunan Bayat). Di bawah pimpinan Pandan Arang II, daerah
Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik
perhatian Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah
dapat dipenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan
Kabupaten. Pada tanggal 2 Mei 1547 bertepatan dengan peringatan maulid Nabi
Muhammad SAW, tanggal 12 rabiul awal tahun 954 H disahkan oleh Sultan
Hadiwijaya setelah berkonsultasi dengan Sunan Kalijaga. Tanggal 2 Mei kemudian
ditetapkan sebagai hari jadi kota Semarang.
Masa pemerintahan Pandan Arang II
menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya.
Namun masa itu tidak dapat berlangsung lama karena sesuai dengan nasihat Sunan
Kalijaga, Bupati Pandan Arang II mengundurkan diri dari hidup keduniawian yang
melimpah ruah. la meninggalkan jabatannya, meniggalkan Kota Semarang bersama
keluarga menuju arah Selatan melewati Salatiga dan Boyolali, akhirnya sampai ke
sebuah bukit bernama jabalekat di daerah Klaten. Didaerah ini, beliau menjadi
seorang penyiar agama Islam dan menyatukan daerah Jawa Tengah bagian Selatan
dan bergelar Sunan Tembayat. Beliau wafat pada tahun 1553 dan dimakamkan di
puncak Gunung Jabalkat. Sesudah Bupati Pandan Arang mengundurkan diri lalu
diganti oleh Raden Ketib, Pangeran Kanoman atau Pandan Arang III (1553-1586), kemudian
disusul pengganti berikutnya yaitu Mas R.Tumenggung Tambi (1657-1659), Mas
Tumenggung Wongsorejo (1659 – 1666), Mas Tumenggung Prawiroprojo (1966-1670),
Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674), Kyai Mertonoyo, Kyai Tumenggung.
Yudonegoro atau Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -1701), Raden Maotoyudo atau
Raden Summmgrat (1743-1751), Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau
Surohadmienggolo (1751-1773), Surohadimenggolo IV (1773-?), Adipati
Surohadimenggolo V atau kanjeng Terboyo (?), Raden Tumenggung Surohadiningrat
(?-1841), Putro Surohadimenggolo (1841-1855), Mas Ngabehi Reksonegoro
(1855-1860), RTP Suryokusurno (1860-1887), RTP Reksodirjo (1887-1891), RMTA
Purbaningrat (1891-?), Raden Cokrodipuro (?-1927), RM Soebiyono (1897-1927), RM
Amin Suyitno (1927-1942), RMAA Sukarman Mertohadinegoro (1942-1945), R.
Soediyono Taruna Kusumo (1945-1945), hanya berlangsung satu bulan, M.
Soemardjito Priyohadisubroto (tahun 1946, 1949 – 1952 yaitu masa Pemerintahan
Republik Indonesia) pada waktu Pemerintahan RIS yaitu pemerintahann federal
diangkat Bupati RM.Condronegoro hingga tahun 1949. Sesudah pengakuan kedaulatan
dari Belanda, jabatan Bupati diserah terimakan kepada M. Sumardjito.
Penggantinya adalah R. Oetoyo Koesoemo (1952-1956). Kedudukannya sebagai Bupati
Semarang bukan lagi mengurusi kota melainkan mengurusi kawasan luar kota
Semarang. Hal ini terjadi sebagai akibat perkembangnya Semarang sebagai Kota
Praja.
B. Perencanaan Kota Semarang
Semarang secara fisik
di daerah pantai utara Pulau Jawa dan secara geografis kota semarang terletak
pada 60 50’- 70 05’ Lintang Selatan dan 1100
45’- 1100 30’ Bujur Timur, membujur di Pantai Utara Pulau Jawa.
Berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Semarang di sebelah
selatan, Kabupaten kendal di sebelah barat, Kabupaen Demak di sebelah timur.
Luasnya terbentang 5 KM disepanjang garis pantai dan 5 KM di pedalaman. Kota
Semarang selalu dilanda rob dan banjir ketika hujan turun. Temperatur
rata-ratanya adalah 27,5 derajad Celsius tetapi kadang-kadang pada sore hari
bisa mencapai 37 derajad Celsius. Semarang terletak 300 Km di sebelah timur
Jakarta dan 100 KM di sebelah utara pusat Kebudayaan Jawa-Yogyakarta.[3]
Kali Semarang Merupakan
dasar pembentukan embrio Kota Semarang awal mula. Menurut peta Semarang tahun 1695,
embrio kota semarang berada di kawasan yang sekarang menjadi kawasan Pasar
Johar.[4]
Dalam peta Semarang tahun 1695 pembanguna n masjid pada sisi timur dalem, yang
merupakan ciri tata ruang tradisional Jawa. Menurut sejarah hal ini karena
masjid Pendamaran tersebut di bangun oleh Ki Ageng Pandan Arang yang yang
bertugas menyebarkan agama Islam.
Pada tahun 1719
perkembangan kota Semarang mengikuti pola jalan yang arahnya cenderung ke
timur-barat. Pola jalan ini berada di sisi barat Kali Semarang dan sisi timur
kali Semarang. Jalan itu pada sisi barat bernama Jl. Imam Bonjol dan Jl. Hasyim, sedangkan pada sisi timur Jl.
Pengapon dan Jl. R. Patah. Pola jalan ini merupakan pola jalan tradisional.
Pada tahun 1741 perkembangan kota Semarang juga masih mengikuti jalur
tradisional. Pada tahun 1800 pola pembangunan berdasarkan pada pola diagonal
dimana terdapat satu jalan yang memotong jalur tradisional.
Letak ibu kota Semarang
berapada di pusat kota pada dataran kwartier yang meluas ke sebelah timur
diwilayah Pendurungan dan Singen Lor yang merupakan tanah pertanian yang subur.
Kota semarang terbagi menjadi dua yaitu kota bawah di sebelah utara dan kota
atas di sebelah selatan. Di Semarang mengalir sembilan sungai besar dan sungai
kecil. Sungai besarnya adalah Sungai Banjir Kanal Barat, Sungai Banjir Kanal
Timur, Sungai Babon, Sungai Kreo, Sungai Kripik, Kali Garang (Sungai Garang),
Sungai Semarang, Sungai Bringin, da Sungai Plumbon. Pada tahun 1900 daerah kota
Semarang hanya terdiri atas distrik yang sekarang dikenal dengan kota lama yang
bagunannya berdiri berdampingan. Batas kota dimuat dalam radius 2 km dari pusat
kota dan jalan di luar pusat kota masih rindang dengan pepohonan yang berada di
sepanjang jalan. Pada tahun 1979, Kota Semarang mengalami perluasan dan jumlah
kecamatannya menjadi sembilan. Tahunb1996 Kota Semarang mengalami perubaha luas
wilayah yakni dari 99.40 Km2 menjadi 373,7Km2 dan terdiri
dari enam belas kecamatan. Kondisi perekonomia semarang menjadi semakin baik
dengan dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869,sehingga mempercepat perdagangan
Eropa dan Asia. Selain itu dengan di bukanya Terusan Suez para pemilik modal
bisa menanamkan modalnya dengan diberlakukanya kebijakan baru dari Belanda,
sehingga membuat banyak pembangunan yang dilakukan diantaranya adalah
pembangunan perkantoran dan industri baru.
Pada masa itu (tahun 1914), Kota
Semarang menglami persoalan menyangkut saluran air kotor, saluran air bersih,
perumahan dan sanitasi.Bersama dengan Plate, kepala Departemen Pekerjaan Umum
Kota Semarang, Karsten menekankan rencana kota melalui integrasi estetis,
kepraktisan, dan persyaratan sosial yang dapat diterima seluruh kelompok
masyarakat.
Semarang pada tahun 1941 dan 1946,
pembentukan kota semarang berdasarkan pada kontur tanah terutama dalam
pembentukan kota Semarang bagian atas. Kita mengetahui bahwa pembentukan kota
Semarang sampai pada tahu 1946 masih didasari oleh jalur tradisional, pola
diagonal dan pola kontur tanah. Tetapi pada tahu 1946 kali Semarang sudah tidak
menjadi dasar pembentukan kota karena sistem transportasi sudah tidak lewat
jalur sungai lagi. Pada tahun 2001 pembentukan kota Semarang masih berdasarkan
tiga hal yaitu jalur tradisional, pola diagonal, dan pola kontur tanah.
Semarang adalah kota pesisir
sekaligus kota perbukitan yang unik. Semarang bagian bawah adalah pusat kota
sejak dahulu kala, namun kian lama kian terkena imbas negatif dari pasang air
laut (rob). Semarang bagian atas adalah wilayah baru yang tengah berkembang
dengan pembangunan di sana-sini. Namun, wilayah baru itu tak melulu
menghasilkan keuntungan, melainkan sebaliknya. Wilayah inilah sebenarnya yang
merupakan kunci atas banjir dan tanah longsor selalu melanda Semarang.
Solusinya
adalah dengan kembali kepada alam, dengan ikhtiar penuh mengembalikan fungsi
pepohonan. Penggalakan yang berwujud penanaman bakau di beberapa garis pantai
perlu diperkencang volumenya. Sebaliknya, pembabatan habis pepohonan di
Semarang atas harus diimbangi dengan peremajaan kembali.
Masalah pelik yang menghantui sebuah
kota besar adalah jumlah populasi penduduk yang tinggi. Karena dari soal
demikian, muncullah pelbagai macam soal-soal lanjutan seperti pengangguran,
kriminalitas, kesumpekan lahan, dan sempitnya lapangan pekerjaan.Maka, menjadi
amat penting buat pemerintah baru mencanangkan sungguh-sungguh program untuk
menekan laju pertumbuhan penduduk. Upaya ini bisa berupa konsolidasi dengan
pemerintah pusat melalui program Keluarga Berencana (KB) maupun langkah
pribadi dari pemerintah kota.
Kepadatan penduduk yang telah
mencapai 3.929 jiwa per km2 adalah jumlah yang cukup tinggi untuk
kota sebesar Semarang. Apalagi persebarannya tidak merata, dengan perbedaan
kepadatan yang mencolok antara di pusat dan tepian-kota. Untuk itulah, agenda
pemerataan pembangunan ternyata menjadi kian penting. Agenda ini akan
meminimalisasikan mobilisasi penduduk, sehingga pergeseran tidak terlalu
terfokus ke pusat kota. Pada gilirannya, hal tersebut akan berbuah pada semakin
berkurangnya kemacetan lalu lintas dan ketimpangan kesejahteraan rakyat.
Semarang sebagai kota metropolitan
utama di Provinsi Jawa Tengah ternyata menampilkan manifestasi otonomi yang
belum berhasil. Di banyak tempat, dari pojok hingga pusat kota, dapat kita
temukan gejala pembangunan yang mengkhawatirkan: terbengkalai akibat salah
prosedur, salah urus, dan sebagainya. Menjadi menarik manakala menghubungkan
hal-hal tersebut dengan bencana alam (atau buatan?) yang tiap tahun menyambangi
Semarang dalam wujud banjir, rob, tanah longsor, kekeringan, dan macam-macam
lagi. Tentu saja tingkat keparahan bencana-bencana tersebut tidak separah bila
dibandingkan dengan kawasan pusat seperti, katakanlah, Jakarta karena “kadar”
pembangunan yang dilaksanakan sendiri juga berbeda. Momentum Pemilihan Wali
Kota (Pilwalkot) yang hendak dilangsungkan dalam waktu dekat barangkali bisa
dijadikan sarana bagi kita untuk membikin kontrak dengan calon wali kota
berkenaan dengan pembangunan Kota Semarang ke depan.
Masalah utama yang perlu mendapat
perhatian adalah kenyataan bahwa kawasan Semarang tidak memiliki pola
pembangunan yang jelas. Ketidakjelasan itu antara lain terlihat pada, pertama,
pengklasifikasian jenis kawasan dengan corak geografis masing-masing. Maraknya
pembangunan perumahan di daerah perbukitan (“Semarang atas”) belakangan ini
membuktikan hal tersebut. Perbukitan yang dulunya merupakan daerah resapan air
hujan kini telah dibabat habis-habisan sehingga banjir kiriman dari atas kerap
melanda Semarang bawah.
Kedua, kawasan
Semarang sangat tidak jelas dalam pola pembangunan kawasan sesuai dengan
peruntukannya. Barangkali Semarang adalah satu-satunya ibukota provinsi yang
aneh dan lucu di mana terdapat pusat perbelanjaan di kawasan perkantoran
(seperti tampak di Jalan Pemuda), perguruan tinggi di segitiga emas
perdagangan, dan pabrik-pabrik industri di kawasan padat penduduk. Ketiga,
sentralisasi yang amat kuat terhadap fasilitas rakyat, semisal pelayanan
kesehatan, dari kawasan yang benar-benar membutuhkan. Pembangunan rumah sakit
yang kebanyakan berada di pusat kota membuktikan hal ini.
Ketiga
masalah tersebut bermuara pada masalah-masalah lanjutan. Pertama,
terjadi ketimpangan kesejahteraan yang pada tahap kritis akan berdampak pada
pengangguran. Kedua, timbul ketimpangan pendidikan dan akses terhadap
pelayanan kesehatan akibat sentralisasi fasilitas rakyat. Ketiga, muncul
sikap ketidakpekaan, baik dari pihak masyarakat maupun Pemerintah, dengan
keberlangsungan alam dan lingkungan hidup di sekitar mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semarang adalah daerah pesisir yang
bernama Pragota, di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Pada akhir abad
ke-15 M, ditempatkan oleh Kerajaan Demak untuk menyebarkan agama Islam,
seseorang yang bernama Pangeran Made Pandan (Ki Ageng Pandan Arang I). Ia
lantas menjadikan daerah itu ramai dan menamainya “Semarang”. Pelabuhan
tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk
ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun
1405 M. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan
mesjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Sam Po Kong
(Gedung Batu).
Pangeran Made Pandan, untuk
menyebarkan agama Islam dari perbukitan Pragota. Dari waktu ke waktu daerah itu
semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang
(bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu
menjadi Semarang. Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah setempat,
dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I. Sepeninggalnya, pimpinan daerah
dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II. Di bawah pimpinan Pandan
Arang II, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat,
sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari Pajang.
Kota Semarang dalam pembangunan kota
ya menggunakan dasar jalur tradisional pada tahun 1695 dimana dalam
pembangunannya menitik beratkan pada jalur sungai sebagai sarana transportasi
pada saat itu. Pada tahun 1800 pembangunan menggunakan dasar pola diagonal yang
berciri terdapat satu jalan memotong pada jalur tradisional. Pada Tahun 1941
pembagunan berdasarkan pada pola kontur tanah. Pada tahun 2001 pembangunan
Semarang masih berdasarkan pada tiga pola yaitu jalur tradisional, pola
diagonal, dan pola kontur tanah.
DAFTAR
PUSTAKA
Budi
A. Sukada,. 2007. Semarang Tempo Dulu.
Yogyakarta: Ombak.
Dwi
Ratna NurhajarPini. 2006. PATRAWIDYA :Sejarah Kota Semarang: Pembangunan
Infrastruktur dan Perkembangan Kota pada Tahun 1900an-1960an). Yogyakarta:
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
[1] Dwi Ratna NurhajarPini, PATRAWIDYA :Sejarah Kota Semarang:
Pembangunan Infrastruktur dan Perkembangan Kota pada Tahun 1900an-1960an),
2006, Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta,
hal. 412.
[3] Dwi Ratna NurhajarPini, Op-cit., hal. 418.
[4] Budi A. Sukada, Semarang Tempo Dulu, 2007, Yogyakarta:
Ombak, hal. 47.
Komentar
Posting Komentar