Sejarah Kota Semarang

Kota Semarang
Disusun guna memenuhi  tugas Mata Kuliah Sejarah Perkotaan
Dosen Pengampu : Terry Irenewaty, M.Hum

 









oleh :
   Didin Harianto                        (09406244001)


PENDIDIKAN SEJARAH/B
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012




KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, hidayah, serta inayahnya yang tercurah kepada kami  sehingga kami dapat menyusun makalah  yang berjudul “Kota Semarang” Sholawat dan salam tidak lupa kami tujukan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang senantiasa kita tunggu pertolongannya pada Yaumul Akhir.
Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Mata kuliah Sejarah Perkotaan. Dengan makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai awal mula terbentuknya kota Semarang, dan makalah ini kami susun berdasarkan berbagai literatur yang kami baca. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam membantu penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kakurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kami memohon masukan-masukan yang konstruktif demi perbaikan selanjutnya. Demikian yang bisa kami sampaikan kurang lebihnya kami mohon maaf yang setulus-tulusnya.
Yogyakarta, 10 Maret 2012


              Penulis








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sejarah Perencanaan kota telah ada sejak berabad-abad lalu diantaranya adalah perencanaan kota Trowulan, ibu kota kerajaan Majapahit dan ibu kota kerajaan-kerajaan lainnya. Perencanaan kotanya berdasarkan pada perhitungan tradisi dengan dibarengi dasar kosmologi. Keberadaan orang-orang asing yang berdatangan ke Indonesia memberi warna baru dalam perencanaan kota-kota di Indonesia terutama bangsa Belanda. Dengan ini menandakan walaupun sudah sejak lama perencanaan perkotaan ada tetapi perencanaan kota modern baru ada pada awal abad XX, seiring masuknya tekhnologi ke Indonesia.
Sejarah Semarang berawal kurang lebih pada abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Pada akhir abad ke-15 M ada seseorang ditempatkan oleh Kerajaan Demak, dikenal sebagai Pangeran Made Pandan, untuk menyebarkan agama Islam dari perbukitan Pragota. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang. Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I.
Semarang merupkan salah satu kota yang di Indonesia yang usianya sudah cukup tua.[1] Umur dari kota Semarang telah lebih dari 462 tahun. Semarang merupakan kota utama Provinsi Jawa Tengah, memiliki luas wilayah 373,67 km2 dengan 16 buah kecamatan, Semarang termasuk dalam jajaran kota besar di Indonesia. Kota semarang diperkirakan sudah ada pada masa pemerintahan Ki Ageng Pandanaran II, telah mulai terbentruk suatu kota yakni ada pusat pemerintahan, permukiman, pasar, masjid dan juga alun-alun. Pembentukan kota Semarang tumbuh mengikuti pola tradisional, tetapi ketika oranga sing masuk ke Semarang unsur asing juga mulai mempengaruhi pembentukan kota Semarang. Budaya asing yang memepengaruhi pembetukan kota Semarang antara lain Tionghoa, Eropa, dan juga Timur Asing lainnya. Letak kota Semarang berada di daerah pantai utara Pulau Jawa sehingga mempunya pelabuhan untuk bongkar muat. Pada masa VOC kota semarang dikembangkan untuk kepentngan VOC dan membuat pelabuhan Jepara tergeser kedudukannya. Semarang tumbuh menjadi kota pelabuhan penting di Jawa karena wilayah di sekitar Semarang merupkan wilayah yang kaya akan hasil perkebunan dan lainya yang laku di pasaran dunia. Perkembangan kota Semarang juga dipengaruhi oleh pembukaan jalus Grote Weg (Jalan Raya Pos) yang dibangun oleh Dendles pada awal abad XIX.
Semarang adalah kota pesisir sekaligus kota perbukitan yang unik. Semarang bagian bawah adalah pusat kota sejak dahulu kala, namun kian lama kian terkena imbas negatif dari pasang air laut (rob). Semarang bagian atas adalah wilayah baru yang tengah berkembang dengan pembangunan di sana-sini. Namun, wilayah baru itu tak melulu menghasilkan keuntungan, melainkan sebaliknya. Wilayah inilah sebenarnya yang merupakan kunci atas banjir dan tanah longsor selalu melanda Semarang. Pemerintahan baru ke depan mestinya sungguh-sungguh melihat posisi sulit dari kedua wilayah ini secara arif. Solusinya adalah dengan kembali kepada alam, dengan ikhtiar penuh mengembalikan fungsi pepohonan. Penggalakan yang berwujud penanaman bakau di beberapa garis pantai perlu diperkencang volumenya. Sebaliknya, pembabatan habis pepohonan di Semarang atas harus diimbangi dengan peremajaan kembali. Ada baiknya Pemerintah merancang ulang pola-pola perkotaan yang efektif. Artinya, pembangunan gedung, fasilitas jalan, dan sarana-prasarana masyarakat seyogianya diperhitungkan masak-masak. Dalam hal demikian, masyarakat umum turut dilibatkan dalam perencanaan pembangunan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang diajukan adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah awal terbentuknya kota semanrang?
2.      Bagaimna perencanaan tata kota semarang?

C.    Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam pembuatan makalah ini adalah :
1.      Mengetahui awal mula terbentuknya kota Semarang.
2.      Mengetahui perencanaan kota semarang.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Awal terbentuknya kota Semarang
Sejarah Semarang berawal kurang lebih pada abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, yang hingga sekarang masih terus berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan. Bagian kota Semarang Bawah yang dikenal sekarang ini dengan demikian dahulu merupakan laut. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun 1405 M. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan mesjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu).”[2]
Pada akhir abad ke-15 M ada seseorang ditempatkan oleh Kerajaan Demak, dikenal sebagai Pangeran Made Pandan, untuk menyebarkan agama Islam dari perbukitan Pragota. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang. Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I. Sepeninggalnya, pimpinan daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II (kelak disebut sebagai Sunan Bayat). Di bawah pimpinan Pandan Arang II, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat dipenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kabupaten. Pada tanggal 2 Mei 1547 bertepatan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 rabiul awal tahun 954 H disahkan oleh Sultan Hadiwijaya setelah berkonsultasi dengan Sunan Kalijaga. Tanggal 2 Mei kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Semarang.
Masa pemerintahan Pandan Arang II menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya. Namun masa itu tidak dapat berlangsung lama karena sesuai dengan nasihat Sunan Kalijaga, Bupati Pandan Arang II mengundurkan diri dari hidup keduniawian yang melimpah ruah. la meninggalkan jabatannya, meniggalkan Kota Semarang bersama keluarga menuju arah Selatan melewati Salatiga dan Boyolali, akhirnya sampai ke sebuah bukit bernama jabalekat di daerah Klaten. Didaerah ini, beliau menjadi seorang penyiar agama Islam dan menyatukan daerah Jawa Tengah bagian Selatan dan bergelar Sunan Tembayat. Beliau wafat pada tahun 1553 dan dimakamkan di puncak Gunung Jabalkat. Sesudah Bupati Pandan Arang mengundurkan diri lalu diganti oleh Raden Ketib, Pangeran Kanoman atau Pandan Arang III (1553-1586), kemudian disusul pengganti berikutnya yaitu Mas R.Tumenggung Tambi (1657-1659), Mas Tumenggung Wongsorejo (1659 – 1666), Mas Tumenggung Prawiroprojo (1966-1670), Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674), Kyai Mertonoyo, Kyai Tumenggung. Yudonegoro atau Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -1701), Raden Maotoyudo atau Raden Summmgrat (1743-1751), Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau Surohadmienggolo (1751-1773), Surohadimenggolo IV (1773-?), Adipati Surohadimenggolo V atau kanjeng Terboyo (?), Raden Tumenggung Surohadiningrat (?-1841), Putro Surohadimenggolo (1841-1855), Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860), RTP Suryokusurno (1860-1887), RTP Reksodirjo (1887-1891), RMTA Purbaningrat (1891-?), Raden Cokrodipuro (?-1927), RM Soebiyono (1897-1927), RM Amin Suyitno (1927-1942), RMAA Sukarman Mertohadinegoro (1942-1945), R. Soediyono Taruna Kusumo (1945-1945), hanya berlangsung satu bulan, M. Soemardjito Priyohadisubroto (tahun 1946, 1949 – 1952 yaitu masa Pemerintahan Republik Indonesia) pada waktu Pemerintahan RIS yaitu pemerintahann federal diangkat Bupati RM.Condronegoro hingga tahun 1949. Sesudah pengakuan kedaulatan dari Belanda, jabatan Bupati diserah terimakan kepada M. Sumardjito. Penggantinya adalah R. Oetoyo Koesoemo (1952-1956). Kedudukannya sebagai Bupati Semarang bukan lagi mengurusi kota melainkan mengurusi kawasan luar kota Semarang. Hal ini terjadi sebagai akibat perkembangnya Semarang sebagai Kota Praja.

B.     Perencanaan Kota Semarang
Semarang secara fisik di daerah pantai utara Pulau Jawa dan secara geografis kota semarang terletak pada 60 50’- 70 05’ Lintang Selatan dan 1100 45’- 1100 30’ Bujur Timur, membujur di Pantai Utara Pulau Jawa. Berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Semarang di sebelah selatan, Kabupaten kendal di sebelah barat, Kabupaen Demak di sebelah timur. Luasnya terbentang 5 KM disepanjang garis pantai dan 5 KM di pedalaman. Kota Semarang selalu dilanda rob dan banjir ketika hujan turun. Temperatur rata-ratanya adalah 27,5 derajad Celsius tetapi kadang-kadang pada sore hari bisa mencapai 37 derajad Celsius. Semarang terletak 300 Km di sebelah timur Jakarta dan 100 KM di sebelah utara pusat Kebudayaan Jawa-Yogyakarta.[3]
Kali Semarang Merupakan dasar pembentukan embrio Kota Semarang awal mula. Menurut peta Semarang tahun 1695, embrio kota semarang berada di kawasan yang sekarang menjadi kawasan Pasar Johar.[4] Dalam peta Semarang tahun 1695 pembanguna n masjid pada sisi timur dalem, yang merupakan ciri tata ruang tradisional Jawa. Menurut sejarah hal ini karena masjid Pendamaran tersebut di bangun oleh Ki Ageng Pandan Arang yang yang bertugas menyebarkan agama Islam.
Pada tahun 1719 perkembangan kota Semarang mengikuti pola jalan yang arahnya cenderung ke timur-barat. Pola jalan ini berada di sisi barat Kali Semarang dan sisi timur kali Semarang. Jalan itu pada sisi barat bernama Jl. Imam Bonjol  dan Jl. Hasyim, sedangkan pada sisi timur Jl. Pengapon dan Jl. R. Patah. Pola jalan ini merupakan pola jalan tradisional. Pada tahun 1741 perkembangan kota Semarang juga masih mengikuti jalur tradisional. Pada tahun 1800 pola pembangunan berdasarkan pada pola diagonal dimana terdapat satu jalan yang memotong jalur tradisional.
Letak ibu kota Semarang berapada di pusat kota pada dataran kwartier yang meluas ke sebelah timur diwilayah Pendurungan dan Singen Lor yang merupakan tanah pertanian yang subur. Kota semarang terbagi menjadi dua yaitu kota bawah di sebelah utara dan kota atas di sebelah selatan. Di Semarang mengalir sembilan sungai besar dan sungai kecil. Sungai besarnya adalah Sungai Banjir Kanal Barat, Sungai Banjir Kanal Timur, Sungai Babon, Sungai Kreo, Sungai Kripik, Kali Garang (Sungai Garang), Sungai Semarang, Sungai Bringin, da Sungai Plumbon. Pada tahun 1900 daerah kota Semarang hanya terdiri atas distrik yang sekarang dikenal dengan kota lama yang bagunannya berdiri berdampingan. Batas kota dimuat dalam radius 2 km dari pusat kota dan jalan di luar pusat kota masih rindang dengan pepohonan yang berada di sepanjang jalan. Pada tahun 1979, Kota Semarang mengalami perluasan dan jumlah kecamatannya menjadi sembilan. Tahunb1996 Kota Semarang mengalami perubaha luas wilayah yakni dari 99.40 Km2 menjadi 373,7Km2 dan terdiri dari enam belas kecamatan. Kondisi perekonomia semarang menjadi semakin baik dengan dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869,sehingga mempercepat perdagangan Eropa dan Asia. Selain itu dengan di bukanya Terusan Suez para pemilik modal bisa menanamkan modalnya dengan diberlakukanya kebijakan baru dari Belanda, sehingga membuat banyak pembangunan yang dilakukan diantaranya adalah pembangunan perkantoran dan industri baru.
Pada masa itu (tahun 1914), Kota Semarang menglami persoalan menyangkut saluran air kotor, saluran air bersih, perumahan dan sanitasi.Bersama dengan Plate, kepala Departemen Pekerjaan Umum Kota Semarang, Karsten menekankan rencana kota melalui integrasi estetis, kepraktisan, dan persyaratan sosial yang dapat diterima seluruh kelompok masyarakat.
Semarang pada tahun 1941 dan 1946, pembentukan kota semarang berdasarkan pada kontur tanah terutama dalam pembentukan kota Semarang bagian atas. Kita mengetahui bahwa pembentukan kota Semarang sampai pada tahu 1946 masih didasari oleh jalur tradisional, pola diagonal dan pola kontur tanah. Tetapi pada tahu 1946 kali Semarang sudah tidak menjadi dasar pembentukan kota karena sistem transportasi sudah tidak lewat jalur sungai lagi. Pada tahun 2001 pembentukan kota Semarang masih berdasarkan tiga hal yaitu jalur tradisional, pola diagonal, dan pola kontur tanah.
Semarang adalah kota pesisir sekaligus kota perbukitan yang unik. Semarang bagian bawah adalah pusat kota sejak dahulu kala, namun kian lama kian terkena imbas negatif dari pasang air laut (rob). Semarang bagian atas adalah wilayah baru yang tengah berkembang dengan pembangunan di sana-sini. Namun, wilayah baru itu tak melulu menghasilkan keuntungan, melainkan sebaliknya. Wilayah inilah sebenarnya yang merupakan kunci atas banjir dan tanah longsor selalu melanda Semarang. Solusinya adalah dengan kembali kepada alam, dengan ikhtiar penuh mengembalikan fungsi pepohonan. Penggalakan yang berwujud penanaman bakau di beberapa garis pantai perlu diperkencang volumenya. Sebaliknya, pembabatan habis pepohonan di Semarang atas harus diimbangi dengan peremajaan kembali.
Masalah pelik yang menghantui sebuah kota besar adalah jumlah populasi penduduk yang tinggi. Karena dari soal demikian, muncullah pelbagai macam soal-soal lanjutan seperti pengangguran, kriminalitas, kesumpekan lahan, dan sempitnya lapangan pekerjaan.Maka, menjadi amat penting buat pemerintah baru mencanangkan sungguh-sungguh program untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Upaya ini bisa berupa konsolidasi dengan pemerintah pusat melalui program Keluarga Berencana (KB) maupun langkah pribadi dari pemerintah kota.
Kepadatan penduduk yang telah mencapai 3.929 jiwa per km2 adalah jumlah yang cukup tinggi untuk kota sebesar Semarang. Apalagi persebarannya tidak merata, dengan perbedaan kepadatan yang mencolok antara di pusat dan tepian-kota. Untuk itulah, agenda pemerataan pembangunan ternyata menjadi kian penting. Agenda ini akan meminimalisasikan mobilisasi penduduk, sehingga pergeseran tidak terlalu terfokus ke pusat kota. Pada gilirannya, hal tersebut akan berbuah pada semakin berkurangnya kemacetan lalu lintas dan ketimpangan kesejahteraan rakyat.
Semarang sebagai kota metropolitan utama di Provinsi Jawa Tengah ternyata menampilkan manifestasi otonomi yang belum berhasil. Di banyak tempat, dari pojok hingga pusat kota, dapat kita temukan gejala pembangunan yang mengkhawatirkan: terbengkalai akibat salah prosedur, salah urus, dan sebagainya. Menjadi menarik manakala menghubungkan hal-hal tersebut dengan bencana alam (atau buatan?) yang tiap tahun menyambangi Semarang dalam wujud banjir, rob, tanah longsor, kekeringan, dan macam-macam lagi. Tentu saja tingkat keparahan bencana-bencana tersebut tidak separah bila dibandingkan dengan kawasan pusat seperti, katakanlah, Jakarta karena “kadar” pembangunan yang dilaksanakan sendiri juga berbeda. Momentum Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) yang hendak dilangsungkan dalam waktu dekat barangkali bisa dijadikan sarana bagi kita untuk membikin kontrak dengan calon wali kota berkenaan dengan pembangunan Kota Semarang ke depan.
Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah kenyataan bahwa kawasan Semarang tidak memiliki pola pembangunan yang jelas. Ketidakjelasan itu antara lain terlihat pada, pertama, pengklasifikasian jenis kawasan dengan corak geografis masing-masing. Maraknya pembangunan perumahan di daerah perbukitan (“Semarang atas”) belakangan ini membuktikan hal tersebut. Perbukitan yang dulunya merupakan daerah resapan air hujan kini telah dibabat habis-habisan sehingga banjir kiriman dari atas kerap melanda Semarang bawah.
Kedua, kawasan Semarang sangat tidak jelas dalam pola pembangunan kawasan sesuai dengan peruntukannya. Barangkali Semarang adalah satu-satunya ibukota provinsi yang aneh dan lucu di mana terdapat pusat perbelanjaan di kawasan perkantoran (seperti tampak di Jalan Pemuda), perguruan tinggi di segitiga emas perdagangan, dan pabrik-pabrik industri di kawasan padat penduduk. Ketiga, sentralisasi yang amat kuat terhadap fasilitas rakyat, semisal pelayanan kesehatan, dari kawasan yang benar-benar membutuhkan. Pembangunan rumah sakit yang kebanyakan berada di pusat kota membuktikan hal ini.
Ketiga masalah tersebut bermuara pada masalah-masalah lanjutan. Pertama, terjadi ketimpangan kesejahteraan yang pada tahap kritis akan berdampak pada pengangguran. Kedua, timbul ketimpangan pendidikan dan akses terhadap pelayanan kesehatan akibat sentralisasi fasilitas rakyat. Ketiga, muncul sikap ketidakpekaan, baik dari pihak masyarakat maupun Pemerintah, dengan keberlangsungan alam dan lingkungan hidup di sekitar mereka.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Semarang adalah daerah pesisir yang bernama Pragota, di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Pada akhir abad ke-15 M, ditempatkan oleh Kerajaan Demak untuk menyebarkan agama Islam, seseorang yang bernama Pangeran Made Pandan (Ki Ageng Pandan Arang I). Ia lantas menjadikan daerah itu ramai dan menamainya “Semarang”. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun 1405 M. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan mesjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu).
Pangeran Made Pandan, untuk menyebarkan agama Islam dari perbukitan Pragota. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang. Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I. Sepeninggalnya, pimpinan daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II. Di bawah pimpinan Pandan Arang II, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari Pajang.
Kota Semarang dalam pembangunan kota ya menggunakan dasar jalur tradisional pada tahun 1695 dimana dalam pembangunannya menitik beratkan pada jalur sungai sebagai sarana transportasi pada saat itu. Pada tahun 1800 pembangunan menggunakan dasar pola diagonal yang berciri terdapat satu jalan memotong pada jalur tradisional. Pada Tahun 1941 pembagunan berdasarkan pada pola kontur tanah. Pada tahun 2001 pembangunan Semarang masih berdasarkan pada tiga pola yaitu jalur tradisional, pola diagonal, dan pola kontur tanah.




DAFTAR PUSTAKA
Budi A. Sukada,. 2007. Semarang Tempo Dulu. Yogyakarta: Ombak.
Dwi Ratna NurhajarPini. 2006. PATRAWIDYA :Sejarah Kota Semarang: Pembangunan Infrastruktur dan Perkembangan Kota pada Tahun 1900an-1960an). Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.




[1] Dwi Ratna NurhajarPini, PATRAWIDYA :Sejarah Kota Semarang: Pembangunan Infrastruktur dan Perkembangan Kota pada Tahun 1900an-1960an), 2006, Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, hal. 412.
[3] Dwi Ratna NurhajarPini, Op-cit., hal. 418.
[4] Budi A. Sukada, Semarang Tempo Dulu, 2007, Yogyakarta: Ombak, hal. 47.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HISTORIOAGRAFI EROPA PADA ABAD PERTENGAHAN

Naturalisme, Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Eksistensialisme

PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU