Memberi Tanpa Pamprih (Kehidupan KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz sebagai seorang Pemimpin Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pati 1963- sekarang)

Memberi Tanpa Pamprih

(Kehidupan KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz sebagai seorang Pemimpin Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pati 1963- sekarang)

Oleh: Didin Harianto*

 

Pengetahuan Kyai Ahmad Dahlan yang luas dan mencakup berbagai disiplin, menjadikan Kyai Haji Ahmad Dahlan tumbuh sebagai seorang yang arif dan tajam pemikirannya serta memiliki pandangan yang jauh kedepan.[1] Seperti halnya Kyai Ahmad Dahlan, KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz juga tumbuh sebagai seorang yang arif dan tajam pemikirannya serta memiliki pandangan yang jauh kedepan. KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz adalah seorang pendobrak Pemikiran Tradisional NU Sosoknya sangat bersahaja. Beliau juga selain menjabat sebagai pemimpin pondok pesantren Maslakul Huda juga sebagai Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) 1999-2004 dan 2004-2009, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia 2000-2005 dan 2005-2010. KH Sahal dilahirkan di Pati 17 Desember 1937.
Bayangkan Kiai Hamam berkiprah dalam Pondok Pabelan dengan serba keterbatasannya. Terbukti santri awal hanya berjumlah 35 orang, 19 pria serta 16 perempuan. Semua berasal dari Pabelan dan umumnya mereka dari keluarga dhuafa. Dengan rahmat-Nya, sepuluh tahun kemudian santri Pabelan telah berjumlah ribuan.[2] Hal seperti itu juga tidak jauh berbeda dengan yang di alami oleh KH Sahal yang hampir seluruh hidupnya dijalani di pesantren dan membatu masyarakat di sekitarnya, mulai dari belajar, mengajar dan mengelolanya. KH Sahal hanya pernah menjalani kursus ilmu umum antara 1951-1953, sebelum mondok di Pesantren Bendo, Kediri (Jatim), Sarang, Rembang (Jateng), lalu tinggal di Mekkah selama tiga tahun. Sikap demokratisnya menonjol dan dia mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Selain memiliki 500-an santri, Ponpes Maslakul Huda juga punya sekolah madrasah ibtidaiyah sampai madrasah aliyah dengan 2.500-an murid, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Arta Huda Abadi yang lima tahun lalu berdiri, koperasi, rumah sakit (RS) umum kelas C RS Islam Pati, memberi kredit tanpa bunga kelompok usaha mikro dengan dana bergulir, mengajar masyarakat membuat “asuransi” kesehatan dengan menabung setiap rumah tangga tiap bulan di kelompoknya, dan masih banyak lagi yang lain.
Abdurrahman Wahid di Indonesia dengan memperkenalkan tradisi sekulerisme  dalam Islam Indoensia, ide pribumisasi Islam yang mengapresiasi dialog dengan ortodoksi Islam, dan juga apresiasinya terhadap ideologi-ideologi politik Barat yang transformatif dan mencerahkan seperti nasionalisme, sosialisme, marxisme, teologi pembebasan, dan civil society.[3] KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz juga mempunyai pemikiran yang hampir sama dengan Abdurrahman Wahid, sehingga beliau di sebut sebagai pendobrak Pemikiran Tradisional NU yang mana masih NU  dan masyarakat masih beranggapan bahwa belajar hanya sebagai melepas kewajiban dan masih tidak bisa berbaur dengan pembaruan, hal ini membuat pendidikan dalam lebaga pendidikan NU menjadi tidak berkembang. Padahal dunia ini selalu berkembang setiap detiknya, sehingga ,manusia di tuntut untuk bisa mengikuti perkembangan zaman. Dalam dunia pendidikan NU masih sedikit sekali sekolah Islam yang benar-benar bagus apalagi semenjak Orde Baru NU mengalami permasalahan yang cukup serius mengenai menurunnya pendidikan yang di bawah naungan NU akibat kebijakan pemerintah.
Ajaran agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadis tersebut akan menenangkan telingga yang mendengarkannya dan melunakan hati serta akan menerobos masuk ke dalam dada. Hati anak-anak kita menjadi tenteram ketika para guru yang saleh yang memiliki keteladanan yang baik menyampaikan pelajaran agama tersebut di atas.[4] Dunia pesantren yang KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz jalani dan ajarkan kepada seluruh orang adalah dunia yang berpusat mempelajari Al Qur’an tetapi juga tidak lupa mempelajari hal-hal lain yang bermanfaat bagi kehidupan manusia seperti ilmu pengetahuan umum, ketrampilan dan lain-lain.
Pesantren berperan dalam berbagai bidang secara multidimensional baik berkaitan langsung dengan aktivitas-aktivitas pendidikan pesantren maupun di luar wewenangnya. Dimulai dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, hasil berbagai observasi menunjukan bahwa pesantren tercatat memiliki peranan penting dalam sejarah pendidikan di tanah air dan telah banyak memberikan sumbangan dalam mencerdaskan rakyat.[5] Pesantren yang di pimpin KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz mempunyai lembaga khusus, Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, berdiri tahun 1977 sampai sekarang. Lembaga khusus ini menangani pengembangan masyarakat dari sisi menciptakan pendapatan, kesehatan, dan pendidikan. Mula-mula membina perajin kerupuk yang di sana disebut kerupuk tayamum karena digoreng dengan menggunakan pasir.
Hampir seluruh tetangga pesantrennya pada tahun 1977 itu membikin kerupuk. Modalnya adalah Rp 5.000, itu pun sudah terlalu banyak. KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz memberikan pinjaman bergulir tak berbunga. Modalnya dari saldo kegiatan internal pesantren seperti kegiatan belajar-mengajar, dari SPP, sedikit demi sedikit dikumpulkan. KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz juga memberikan kepada kelompok supaya ada kerja bersama, kerja kooperatif. Mereka mencicil tiap minggu, setelah terkumpul Rp 5.000 diberikan kepada kelompok baru. Usaha mereka berkembang dan kemudian banyak yang merasa usaha itu terlalu kecil dan mereka pindah usaha. Karena usaha mereka semakin besar, perlu dana lebih banyak. Lalu KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz mencoba membantu dengan mendirikan BPR Arta Huda Abadi pada tahun 1997. Modal awalnya pada masa itu cukup Rp 50 juta, juga dikumpulkan dari dana pesantren sendiri yang merupakan pemegang saham terbesar, tetapi BPR juga melibatkan alumni pesantren yang berminat mengembangkan BPR ini. Tahun 2002 asetnya sudah lebih dari Rp 10 milyar, dan terus berkembang. Sudah punya kas pembantu di Kota Juwana, Kota Pati, dan daerah perbatasan Jepara-Pati. Kantor pusatnya di Kajen, di dekat pesantren Maslakul Huda.
Pesantren juga mempunyai sebuah koperasi yang mengembangkan Unit Simpan-Pinjam Syariah yang sistem simpan-pinjamnya bagi hasil. Di daerah sekitar Pati, ini adalah koperasi syariah pertama. Modalnya juga berbentuk saham milik pesantren, staf koperasi, dan alumni. Wartel pun sahamnya kami bagi-bagi, tidak cuma pesantren. Prinsipnya, rezeki itu jangan dipek (dihaki) sendiri. Ketika ada program Jaring Pengaman Sosial saat krisis ekonomi tahun 1997-1998, ada bantuan beras dari Jepang. Pesantren Maslakul Huda termasuk yang kebagian jatah membagi beras untuk orang miskin. Pesantren menerima, dengan syarat tidak mau hanya membagi. Bila hanya membagi akan membuat mereka jadi lebih tergantung.
Maka KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz meminta mereka membentuk kelompok, tiap sepuluh keluarga jadi satu kelompok. Ada kira-kira 176 kelompok. Setiap keluarga dalam kelompok diminta menabung setiap hari, besarnya terserah kesepakatan anggota kelompok. Rata-rata per keluarga bisa menabung Rp 1.000 per hari. Tabungan itu milik mereka, mereka urus sendiri, dan setor sendiri ke BPR atas nama kelompok. Setelah proyek selesai dalam tiga bulan, masing-masing kelompok rata-rata punya tabungan Rp 900.000. Ini lalu dipakai modal usaha kelompok. Jumlahnya ratusan kelompok, kebanyakan ibu-ibu.
Ketika pihak Jepang dilapori, mereka terkejut. Lalu mereka bertanya, apa keinginannya selanjutnya. Mereka mengatakan, ingin dibina sebagai kelompok usaha. Pihak Jepang bersedia membantu biaya pelatihan Rp 500.000 per kelompok. Pelatihan disesuaikan kebutuhan kelompok, tetapi rata-rata minta pelatihan pembukuan keuangan karena akan berhubungan dengan bank nantinya. Selesai dilatih, pihak Jepang masih menambah bantuan Rp 500.000 per kelompok untuk modal. Jadi, tiap kelompok rata-rata punya Rp 1,4 juta, kalau dipakai untuk kulakan bayam uangnya sudah bisa bergulir. Kelompok-kelompok yang di bentuk itu adalah kelompok perkebunan, kelompok rambutan binjai, karena disana rambutan binjai tumbuh bagus dan sudah panen berkali-kali, kelompok tani kacang tanah yang memasok ke Kacang Garuda karena kami punya kerja sama, lalu ada kelompok tani singkong tepung tapioka.
Pesantren hanya memotivasi dan membimbing, tetapi untuk yang teknis pesantren memanggil ahlinya. Misalnya, untuk pengolahan limbah cair tapioka, mengundang ahli dari Universitas Diponegoro. Dalam membina petani tersebut, pesantren menggunakan pendekatan dari bawah. Ditelusuri apa kebutuhan dasar mereka dengan bertemu dengan tokoh masyarakat, dan mencari tahu apa kesulitan mereka. Lalu dicarikan solusi, kemudian didiskusikan dengan masyarakat. KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz mau masyarakat berdiskusi terbuka, dan mereka juga menyampaikan pikirannya, tidak cuma inggih-inggih (ya ya saja). KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz memang tidak hanya mengurusi pesantren. Tetapi juga sangat peduli kepada kepentingan masyarakat luas di luar pesantren. Menurutnya, hal itu aplikasi ajaran Islam bahwa manusia yang terbaik adalah yang banyak memberikan manfaat untuk orang lain. Selain itu, kegiatan semacam ini otomatis memberi laboratorium sosial bagi santri. Mereka langsung berinteraksi dengan masyarakat.
Dunia pendidikan kini berubah dengan cepat. Berbagai corak perubahan yang terjadi, baik yang dipicu oleh perkembangan ilmu-ilmu kependidikan modern, perkembangan sains dan teknologi maupun akibat perubahan sosial masyarakat itu sendiri, memaksa para tenaga pengajar perguruan tinggi untuk senantiasa meningkatkan kinerjanya sebagai figur dosen profesional.[6] KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz menjadi Rektor Institut Islam NU di Jepara sudah lebih 10 tahun, dosen kuliah takhassus fiqh di Kajen (1966-1970), dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati (1974-1976), dan dosen di Fak. Syariah IAIN Walisongo,Semarang (1982-1985). KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz selalu mengikuti perkembangan yang terjadi, selama perkembangan itu menuju ke arah kebaikan, dari berbagai program yang beliau lakukan untuk masyrakat, pesantren, tempatnya bekerja, dan umat yang di antaranya adalah program pengembangan masyarakat beliau melakukan kerja sama dengan ahli dari Universitas Diponegoro untuk melakukan pengolahan limbah cair dari sisa prodiksi usaha masyarakat yang di binanya.
Meskipun Islam mendorong umatnya untuk mencari Ilmu agama maupun sains sekular secara bersama, tanpa dipilah-pilah, tetapi dalam kenyataannya di hampir semua negeri Muslim, kita melihat ada dua sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan agama dan sistem pendidikan sekular. Mata pelajaran sekular bertambah seiring dengan pertambahan institusi pendidikan itu sendiri.[7] Pendidikan agama di anggap lebih unggul, dimana terdapat dua prinsip pokok:
a)      Mencari dan memberikan pelajaran dan pengetahuan agama merupakan kewajiban agama; dan
b)      Mereka yang terlibat dalam kegiatan ini hanya mengenal satu tujuan, yakni mendapatkan ridha Allah-kegiatan mereka merupakan gerakan spontan yang sama sekali tanpa organisasi sistematis, dan tanpa bertujuan memperoleh materi.[8]
KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz merupakan seorang yang ikhlas memberi. Beliau selalu memikirkan orang di sekitarnya, Menurutnya, aplikasi ajaran Islam bahwa manusia yang terbaik adalah yang banyak memberikan manfaat untuk orang lain.
Isu konstitusional yang terlibat dalam kegiatan sekolah mulai dari publikasi siswa untuk pemilihan buku untuk perpustakaan sekolah. Salah satu hasilnya adalah keterlibatan keterlibatan pengadilan pengadilan di kontrol dan regulasi dari sekolah umum.[9] KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu ikut campur dalam hal agama. Menurutnya, pemerintah sebagai pengayom memang bertanggung jawab, berhak, dan berkewajiban membina, memberi fasilitas untuk semua agama, tetapi jangan intervensi terlalu jauh sebab itu hubungan manusia dengan Tuhan. Alasannya, katanya, agama itu tidak berorientasi pada kekuasaan, tidak ingin agama lebih dominan dari agama, tetapi juga negara jangan lebih dominan dari agama, memakai agama sebagai justifikasi. Agama itu harus mandiri. Seperti pada saat kebijakan pemerintah yang mengharuskan sekolah-sekolah Islam untuk menata kurikulum mereka seperti sekolah pada umumnya yang seharusnya ada perbedaan. Karena sekolah madrasah itu sekolah agama sehingga kurikulumnya seharusnya lebih banyak mengajarkan pelajaran agama dari pada pelajaran umum.
Seperti yang saya telah menunjukkan di tempat lain, intens religio-intelektual kontak dan hubungan antara Melayu-Bahasa Indonesia siswa atau ulama (ulama, ulama dalam bahasa Melayu), dan mereka seagama dan ulama di Haramayn memiliki dampak reformasi yang jelas di lapangan Islam di Haramayn memiliki dampak reformasi yang jelas di lapangan Islam di Nusantara, terutama sejak abad ketujuh belas.[10]  Setelah berakhirnya masa Orde Baru yang di dominasi oleh militer pada masa Reformasi masyarakat kebali bebas dari kungkungan. Agama pun juga mulai terbebas juga yang pada orde baru pendidikan agama pada sekolah-sekolah seperti madrasah aliyah harus melakukan pendidikan sesuai dengan ketetapan pemerintah sehingga sekolah-sekolah madrasah dan aliyah pada masa itu tidak bisa berkembang. Hal ini juga mempengaruhi Pondok Pesantren Maslakul Huda pimpinan KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz.
Lebih penting itu menghadapi tantangan yang meningkat dari pendukung baru aktivisme Islam. Contoh yang paling mencolok tentu saja penggantian pondok dengan sekolah modern.[11] Dunia yang selalu berkembang terutama dunia pendidikan. Pondok-pondok pesantren pun juga mengikuti perkembangan ini agar tidak ketinggalan tetapi perkembangan yang di ikuti itu adalah perkembangan yang menuju kebaikan. Seperti Pondok Pesantren Gontor yang merupakan salah satu pondok pesantren modern, selain itu juga Pondok Pesantren Maslakul Huda pimpinan KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz juga tidak mau ketinggalan perkembangan sehingga selalu mengikuti perkembangan dunia.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan. 1990. K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Jakarta: Bumi Aksara.
Abdu Rahman Haji Abdullah. 1997. Penjajahan Malaysia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad Baso. 2006. NU Studies: Pergolakan antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga.
Ali Al- Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi. 1994. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Azyumardi Azra. 2001. Islam In The Era Era Of Globalization: Muslim Attitudes Towards Modernity And Identity. Jakarta: INIS.
Husain Haikal. 2009. Millah: Memberi Serasa Menerima (Dinamika Pondok Pabelan K.H. Hamam Dja’far 1938-1993. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia.
Joel Spring. 2006. American Education. New York: Mc Graw Hill.
Lik Arifin Mansurnoor. 2011. Living In The Periphery. Jakarta: UIN Jakarta Press.
M. Amien Rais. 1987. Cakrawala Islam. Bandung: Mizan.
Mujamil Qomar. 2005. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Soedarto, dkk. 1999. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Logos.



* Mahasiswa Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNY.
[1] Abdul Munir Mulkhan, K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, 1990, Jakarta: Bumi Aksara, hal. 7.
[2] Husain Haikal, Millah: Memberi Serasa Menerima (Dinamika Pondok Pabelan K.H. Hamam Dja’far 1938-1993, 2009, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia, hal. 246.
[3] Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, 2006, Jakarta: Erlangga, hal. 161.
[4] Ali Al- Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, 1994, Jakarta: PT Rineka Cipta, hal. 15.
[5] Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, 2005, Jakarta: Erlangga, hal. 25.
[6] Soedarto, dkk, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, 1999, Jakarta: Logos, hal. 71.
[7] Abdu Rahman Haji Abdullah, Penjajahan Malaysia, 1997, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 27.
[8] M. Amien Rais, Cakrawala Islam, 1987, Bandung: Mizan, hal. 160-161.
[9] Joel Spring, American Education, 2006, New York: Mc Graw Hill, hal. 286.
[10] Azyumardi Azra, Islam In The Era Era Of Globalization: Muslim Attitudes Towards Modernity And Identity, 2001, Jakarta: INIS, hal. 31.
[11] Lik Arifin Mansurnoor, Living In The Periphery, 2011, Jakarta: UIN Jakarta Press, hal. 247.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HISTORIOAGRAFI EROPA PADA ABAD PERTENGAHAN

Naturalisme, Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Eksistensialisme

PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU