Tokoh Progresif: Sultan Syahrir
Syahrir
adalah putra dari pasangan Mohammad
Rasad dan Puti Siti Rabiah. Syahrir mengenyam Sekolah Dasar (ELS) dan
sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan. Pada 1926, ia syahrir masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung dan
bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai
sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk
membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya
Universitas Rakyat. Pada 20 Februari 1927, Syahrir termasuk dalam sepuluh orang
penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesie. Perhimpunan itu
kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan
Kongres Pemuda Indonesia dan mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928. Syahrir
melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam, Leiden. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme dan bergabung
dengan Perhimpunan Indonesia (PI).
Pada masa pendudukan jepang Syahrir membangun
jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah
tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan
pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif. Syahrir
yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan
kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah, Syahrir siap dengan
massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik
Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.Pada masa Revolusi Syahrir
menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi
Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II.
Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno.
Pada November 1945 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi
formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah Syahrir dalam
panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri
termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Pada
tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana
Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946. Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan
RI lewat jalur diplomasi.
Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB dan
pada tanggal 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan
PBB. Berhadapan
dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai
sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum
kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang
sudah disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil
merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di
gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal
mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai
persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya. Syahrir populer di kalangan
para wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar
menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.
Refrensi:
Anwar, Rosihan. 1980. Mengenang Sjahrir.
Jakarta: PT GRAMEDIA.
Komentar
Posting Komentar