SEJARAH SOSIAL PEDESAAN DI SEMARANG

RESUME SEJARAH SOSIAL PEDESAAN DI SEMARANG Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial Ekonomi Dosen Pengampu: Mudji Hartanto, M.Hum Disusun Oleh: KELOMPOK 1 1. Didin Harianto (09406244001) 2. Arawinda (09406244003) 3. Farah Ken C (09406244002) 4. Sinta Asih R (09406244045) 5. Titin Endrayani (09406244023) 6. Rezky Atyka W (09406244024) 7. Bekti Mahendra (09406244025) 8. Joko Listiyono (06406244039) JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2010 Sejarah Sosial Pedesaan di Semarang Kabupaten Kendal merupakan salah satu wilayah Karesidenan Semarang. Kabupaten ini terletak di sebelah barat Kota Semarang, dengan batas-batas wilayahnya di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah barat dengan Karesidenan Pekalongan, di sebelah timur dengan Kabupaten Semarang, dan di sebelah selatan dengan Karesidenan Kedu.1Sebelum tahun 1853, di Kabupaten Kendal terdapat tujuh distrik, yang masing-masing terdiri dari beberapa desa. Ketujuh distrik itu ialah: Kendal, Truka, Perbuan, Kaliwungu, Selokaton, Cangkiran, dan Limbangan. Jumlah desa dari tiap distrik dari tahun 1837 sampai 1845 mengalami perubahan, berupa penambahan atau pengurangan. Pada tahun 1837 distrik Kendal terdiri dari 102 desa, kemudian pada tahun 1845 jumlahnya bertambah menjadi 107 desa. Distrik Truka pada tahun 1837 terdiri dari 129 desa, pada tahun 1845 bertambah menjadi 156 desa. Distrik Perbuan dari 111 desa pada tahun 1837, telah berkurang menjadi 83 desa pada tahun 1845. Distrik Kaliwungu pada tahun 1837 terdiri dari 132 desa, pada tahun 1845 berkurang menjadi 102 desa. Distrik Selokaton pada tahun 1837 terdiri dari 107 desa, pada tahun 1845 bertambah menjadi 164 desa. Distrik Cangkiran pada tahun 1837 terdiri dari 40 desa, pada tahun 1845 menjadi 55 desa. Distrik Limbangan pada tahun 1837 terdiri dari 42 desa, pada tahun 1845 menjadi 54 buah desa. Topografi Kabupaten Kendal terdiri dari dua dataran, dataran rendah di sebelah utara dan pegunungan di sebelah selatan. Daerah dataran rendah ditanami tanaman pangan, terutama padi sedangkan daerah pegunungan dengan jenis tanaman keras, terutama kopi. Pegunungan ini merupakan rangkaian perbukitan yang memanjang dari daerah Pekalongan. Di daerah yang memiliki ketinggian antara 300 sampai 400 meter ini, terdapat hutan jati dan juga tanah yang belum diolah. Ada bagian pegunungan yang merupakan perbukitan yang sampai ke laut, dan mempunyai kecuraman yang besar. Pantai yang curam ini masih berhutan, dahulu hutannya lebih besar dan disebut hutan Weleri sesuai dengan nama desa di dekatnya.Pada awal tahun 1900-an luas hutan jati yang termasuk Kesatuan Pemangku Hutan Kendal Sekitar 12.800 hektar. Penebangan kayunya waktu itu dilakukan oleh kontaraktor-kontraktor swasta, tetapi bila kontraknya sudah habis, penebangan dilakukan oleh Tempat Pengumpulan Kayu (TPK) di Kaliwungu, Mangkang dan Pegandon.Pada masa Sistem Tanam Paksa diterapkan di Jawa Kabupaten Kendal merupakan satu-satunya daerah di Karesidenan Semarang yang ditanami tebu perkebunan pemerintah. Selain tebu tanaman perkebunan lainnya adalah kopi dan nila. Sesudah Sistem Tanam Paksa dihapuskan, di daerah Kendal Selatan, banyak perkebunan swasta untuk ekspor, seperti karet, kopi, teh, kina, cacao, lada, pala dan panili. Tenaga kerja dari perkebunan ini cukup banyak yang berasal dari daerah sekitarnya. Selain oleh perkebunan swasta hasil bumi untuk perdagangan juga diusahakan oleh penduduk pribumi. Hasil bumi yang diusahakan terutama ialah tembakau dan kopi. Tembakau ditanam di distrik Kendal, Weleri dan Selokaton. Luas tanaman seluruhnya, pada awal tahun 1900-an mencapai sekitar 5000 hektar. Adapun tanaman kopi penduduk, selain ditanam di kebun atau tanah pekarangan, banyak pula yang ditanam di tanah bekas kebun kopi pemerintah yang sudah dihapuskan, dan diberikan kepada penduduk. Kebun kopi itu masih ada yang terus diusahakan, tetapi ada juga yang dibongkar dan tanah dijadikan areal persawahan atau tegalan. Di daerah rendah, selain untuk areal pertanian, juga diusahakan untuk budidaya ikan, khususnya di sepanjang pantainya.Di Kabupaten Kendal, selain terdapat pegunungan, juga terdapat sungai-sungai. Di antaranya,yang terpenting adalah: Kali Loning, Kali Lotut, Kali Logung, dan Kali Bodri; semuanya bermuara di Laut Jawa. Kali Loning yang mengalir di Distrik Kaliwungu, sering menimbulkan bencana banjir. Di antara sungai-sungai yang ada, Kali Bodri pernah menjadi salah satu sungai yang baik untuk pelayaran. Kali yang mengalir di Distrik Kendal ini, merupakan gabungan Kali Logung dan Kali Lotut. Keduanya bermata air di Distrik Candiroto, Residensi Kedu; tepatnya di Timur Laut Lereng Gunung Prau. Pada masa Sistem Tanam Paksa, Kali Bodri digunakan untuk jalur pengangkutan gula yang diha-silkan oleh pabrik-pabrik yang ada di Kabupaten Kendal, khususnya Cepiring, karena kali ini mengalir hanya beberapa meter dari pabrik gula tersebut. Selain Pabrik Gula Cepiring, yang terletak di Distrik kendal, di Kabupaten ini masih terdapat tiga buah pabrik lagi, yang masing-masing terdapat di Distrik Kaliwungu, Truka dan Pegandan.9 Akan tetapi, sekitar tahun 1900-an tinggal pabrik gula Cepiring, Gemuh dan Kaliwungu yang masih beroperasi. Diantara ketiga pabrik ini, yang paling baik adalah pabrik gula Cepiring. Pabrik ini pada waktu itu tergolong paling “modern” dan perlengkapannya paling baik untuk seluruh Jawa. Pabrik gula Cepiring dan Gemuh, pemiliknya ialah N.V. tot Exploitatie de Kendalesche Suikerfabrieken. Pabrik gula Kaliwungu pemiliknya N.V. Culturonderne-ming“Kaliwungu-Plantaran”, yang penjualan produksinya dilakukan oleh Cultuurmaatschapij der Vordtenlanden. Pabrik gula Kaliwungu keadaannya tidak sebaik pabrik gula Cepiring dan Gemuh, selain itu instalasinya juga sudah usang.10 Namun demikian, keempat pabrik ini mempunyai peran yang cukup besar dalam meningkatkan ekspor gula dari Hindia Belanda, terutama pada masa Sistem Tanam Paksa. Dari beberapa sumber dapat dipastikan bahwa pembuatan gula tebu di Jawa sudah tua, tetapi usaha itu bukanlah merupakan suatu perusahaan. Pembuatan gula pada waktu itu masih merupakan usaha rakyat yang masih bersifat merupakan kerumahtanggaan (home insutry) dan dikerjakan dengan alat-alat tradisional yang sederhana. Hal ini sesuai dengan struktur kehidupan ekonomi Jawa, yang sampai kurang lebih pertengahan abad ke-19 masih merupakan kehidupan innatura dengan sistem kerumahtanggaan yang tertutup. Meskipun di daerah pantai utara sejak lama sudah ada perdagangan yang bersifat internasional, akan tetapi hal itu tidak begitu berpengaruh terhadap sistem kehidupan ekonomi petani sebagai keseluruh-an.Tebu ditanam di Jawa sejak zaman dahulu, dan mungkin dibawa oleh orang-orang Hindu (India-pen) atau Arab. Kedatangan orang-orang Belanda ke Jawa masih belum membicarakan usaha gula. Akan tetapi, ketika perdagangan gula dari Cina, Siam, Formosa, dan Benggalen (India) menghasilkan keuntungan besar, sedangkan produksi gulanya tidak dapat memenuhi permintaan pasar. Maka Kumpeni memutuskannya membawa dari luar negeri mesin-mesin penggilingan tebunya di daerah-daerah sekitar Batavia.Pemilik pabrik biasanya orang Cina, dan Kumpeni membeli seluruh produksi dengan harga yang ditetapkannya. Akan tetapi Kumpeni berkalikali mengubah perjanjian mengenai banyaknya produksi yang harus diserahkan, serta harganya. Hal ini mengakibatkan keadaan industri gula tidak menentu. Baik jumlah pabriknya, maupun produksinya berubah setiap tahun. Pembuatan gula di Jawa, sebagai suatu perusahaan timbul pada bagian pertama abad ke-17 ( 1637 ). Perusahaan ini didirikan oleh orang-orang Cina di sekitar kota Batavia. Perusahaan-perusahaan ini sebagian besar mendapat modal dari Kumpeni, oleh karena itu produknya terutama untuk memenuhi kebutuhan Kumpeni. Cina-cina itu adalah pemilik penggilingan dan yang mengusahakan penanaman tebunya di sekitar kota Batavia. Tenaga kerja yang dipergunakan, adalah tenaga kerja budak atau tenaga upahan yang berasal dari luar daerah. Dengan demikian, perusahaan perusahaan gula ini berada di luar struktur kehidupan ekonomi rakyat Jawa. Sebelum dikenalnya pembuatan gula dari tebu sebenarnya masyarakat di Jawa sudah mengenal pembuatan gula dari bahan lain. Pembuatan gula dengan menguapkan cairan yang disadap dari tangkai bunga pohon kelapa, adalah proses yang sudah dikenal sejak lama. Cairan yang diuapkan itu didinginkan dalam cetakan, dibiarkan membeku dan gulapun siap dipakai. Akan tetapi, cara ini tidak pernah berkembang sampai dapat membuat gula kristal murni. Gula yang dibuat di lingkungan rumahtangga ini biasa dikenal sebagai “gula mangkok”, atau dinamakan menurut jenis bahan yang dipergunakannya. Gula mangkok, sampai sekarang merupakan jenis gula yang tetap digemari orang. Sesudah gula tebu dikenal, gula mangkok lebih banyak dibuat dari sari tebu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naturalisme, Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Eksistensialisme

HISTORIOAGRAFI EROPA PADA ABAD PERTENGAHAN

PERANAN SYEH JANGKUNG DALAM MENYEBARKAN AGAMA ISLAM DI DAERAH PATI