TEORI BELAJAR THORNDIKE

TEORI BELAJAR THORNDIKE Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan Dosen Pengampu: Isti Yuni Purwanti, M. Pd. Disusun Oleh: KELOMPOK 1 1. Didin Harianto (09406244001) 2. Farah Ken Cintawati (09406244002) 3. Arawinda (09406244003) 4. Yuliant Angga P.S (09406244004) 5. Fitria Riris Soneta BB (09406244005) 6. Ageng Sanjaya (09406244006) 7. Thoriq Dwi Alfian (09406244007) 8. Tuti Alfiah (09406244008) 9. Pungki Muninggar (09406244009) 10. Aan Andriyanto (09406244010) JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2010 KATA PENGANTAR Assalamualikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik. Tulisan ini disusun oleh tim penulis selain sebagai tindak lanjut melaksanakan tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan juga sebagai pembantu kita dalam memahami materi yang akan kami uraikan yaitu Teori Belajar Thorndike. Dalam penyusunan tugas ini, kami menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami harapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat. Wassalamualaikum wr.wb. Yogyakarta,6 Mei 2010 Penyusun BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam perkembangan diri, seorang anak akan mengalami tahapan-tahapan. Pada tiap-tiap tingkatan itu memiliki tujuan, pencapaian, perhatian, prestasi, dan resiko-resiko yang akan mereka hadapi. Dalam menghadapi resiko atau krisis perkembangan, seseorang akan memiliki pilihan yang positif dan yang negatif. Pada akhir sebuah tahapan, seseorang akan mencapai sebuah prestasi, di mana dalam keadaan itu konflik akan berhasil diatasi. Thorndike mengembangkan teori asosiasionisme yang sangat sistematis, dan salah satu teori belajar yang paling sistematis . Ia membawa ide-ide asosiasi para filsuf ke dalam level yang empiris dengan melakukn eksperimen terhadap ide-ide filosofis tersebut. Eksperimennya yang khas dengan mengunakan kucing sebagai obyek kajiannya . Thorndike juga mengakui pentingnya konsep reinforcement dan reward serta menuliskan teorinya tentang ini dalam “law of effect” tahun 1898. B. TUJUAN PENULISAN Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas Psikologi Pendidikan yang berjudul Teori Belajar Thorndike yang di berikan oleh Isti Yuni Purwanti, M.Pd dan dibuat untuk mengetahui bagaimana cara belajar yang tepat yang di terapkan kepada seorang anak. C. RUMUSAN MASALAH 1. Siapa itu Thorndike? 2. Apa isi dari teori belajar Thorndike? 3. Apa aplikasi teori connectionism dalam proses pembelajaran? BAB II PEMBAHASAN A. JATI DIRI THORNDIKE Thorndike lahir di Wiliamsburg pada tanggal 31 Agustus 1874 dan meninggal di Montrose, New York, pada tanggal 10 Agustus 1949, adalah tokoh lain dari aliran fungsionalisme Kelompok Columbia. Setelah ia menyelesaikan pelajarannya di Harvard, ia bekerja di Teacher's College of Columbia di bawah pimpinan James Mckeen Cattell. Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog . Di sinilah minatnya yangbesar timbul terhadap proses belajar, pendidikan, dan intelegensi. Thorndike merupakan suatu tokoh dalam lapangan psikologi pendidikan yang besar pengaruhnya. Dalam tulisannya Thorndike berpendapat, bahwa yang menjadi dasar belajar itu ialah asosiasi antara pesan pancaindera dengan implus untuk bertindak. Asosiasi itu disebut “Bond” atau “Connection”. Asosiasi atau bond atau koneksi itulah yang yang menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan. Karena prinsipnya yang demikian itulah maka teori Thorndike itu disebut Connectionism atau Bond Psycbology. B. TEORI CONNETONISM Bentuk belajar yang khas baik pada hewan maupun pada manusia itu oleh Thonrdike disifatkan sebagai “trial and eror learning” atau “learning by selecting and connecting”. Organisme dihadapkan kepada situasi yang mengandung problem untuk dipecahkan; pelajar harus mencapai tujuan. Pelajar itu akan memilih response yang tepat di antara berbagai respons yang mungkin dilakukan. Eksperimen-eksperimen Thorndike yang mula-mula modelnya adalah demikian ini, dan terutama dilakukan dengan mempergunakan kucing sebagai sebagai subyek dalam eksperiment itu. Eksperimennya yang khas ialah dengan kucing, dipilih yang masih muda yang kebiasaan-kebiasaannya masih belum kaku, dibiarkan lapar; lalu dimasukkan ke dalam kandang. Di luar kandang diletakan sepiring makanan daging. Pada usaha yang pertama kucing itu melakukan berbagai macam gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan problemnya, seperti misalnya mencakar, menubruk, dan sebagainya, sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Waktu yang di butuhkan dalam usaha yang pertama ini adalah lama. Percobaan itu dilakukan secara berulang-ulang. Pada percobaan berikutnya usaha yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu makin singkat. Hal ini di tafsirkan oleh Thorndike oleh Thorndike demikian: “kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara mengerti cara membebaskan respons-respons yang benar dan menghilangkan atau meninggalkan respons-respons yang sudah. Berbeda dengan penelitian di laboraturium mengenai hal belajar itu yang telah dilakukan oleh ahli-ahli yang lebih dahulu, dalam eksperimenya Thorndike memasukan masalah baru di dalam belajar, yaitu masalah dorongan, hadiah, dan hukuman. Penelitihan-penelitihan yang lebih dahulu umumya tidak mempersoalkan hal itu. Eksperimen-eksperimen Thorndike mengenai hewan mempengaruhi pikirannya mengenai hewan mempengaruhi belajar pada taraf insansi. Dia yakin bertentangan dengan kepercayaan umum bahwa tingkah laku hewan sedikit sekali dipimpin oleh pengertian. Respons-respons itu di lakukan oleh hewan langsung terhadap situasi yang diamati. Dengan tidak menyatakan secara eksplisit menolak kemungkinan adanya pengertian pada hewan, dia yakin bahwa masalah belajar pada hewan itu dapat di terangkan sebagai hubungan langsung antara situasi dan perbuatan, tanpa diantarai oleh pengertian . Perbandingan yang di buatnya mengenai kurva belajar hewan dan manusia member keyakinan kepadanya, bahwa hal-hal yang menjadi dasar proses belajar pada hewan dan manusia itu adalah sama saja. Baik belajar pada hewan, maupun belajar pada manusia itu berlangsung menurut tiga macam hukum belajar pokok, yaitu: • Law of Readiness : semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. • Law of Exercise : semakin sering suatu tingkah laku di ulang atau dilatih, maka asosiasi tersebut akan semakin kuat . Contoh : mengulang, menghafal, dan lain sebagainya. Belakangan teori ini dilengkapi dengan adanya unsur effect belajar sehingga hanya pengulangan semata tidak lagi berpengaruh. • Law of Effect : menguat atau melemahnya sebuah connection dapat dipengaruhi oleh konsekuensi dari connection tersebut. Konsekuensi positif akan menguatkan connection, sementara konsekuensi negatif akan melemahkannya. Belakangan teori ini disempurnakan dengan menambahkan bahwa konsekuensi negatif tidak selalu melemahkan connections. Pemikiran Thorndike tentang. Konsekuensi ini menjadi sumbangan penting bagi aliran behaviorisme karena ia memperkenalkan konsep reinforcement. Kelak konsep ini menjadi dasar teori para tokoh behaviorisme seperti Watson, Skinner, dan lain-lain. Ketiga hukum yang telah itu adalah hukum-hukum pokok atau hukum-hukum primer. Kecuali tiga hukum tadi di atas Thorndike juga mengemukakan pula lima macam hukum-hukum subside atau minor. Kelima hukum tersebut merupakan prinsip-prinsip yang penting di dalam proses belajar, akan tetapi tidak sepenting hukum-hukum primer atau pokok . Hubungan antara hukum pokok dan hukum subsider itu tidak begitu jelas, dan dalam tulisan-tulisan Thorndike yang lebih kemudian hukum-hukum subside tersebut kadang-kadang ditinggalkan, kadang-kadang dipakai lagi. Adapun kelima hukum subsider itu adalah: 1. Hukum Reaksi Bervariasi yaitu bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan error yang menunjukan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi. 2. Hukum Sikap yaitu bahwa perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya. 3. Hukum Aktivitas Berat Sebelah yaitu bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon hanya pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi. 4. Hukum Respon by Analogy yaitu bahwa individu dapat melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsure-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsure yang sama atau identik, maka transfer akan makin mudah. 5. Hukum Perpindahan Asosiasi yaitu bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal kesituasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit unsure baru dan membuang sedikit demi sedikit unsure lama. Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar antara lain: 1. Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah. 2. Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa. 3. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon. 4. Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain . Kelemahan dari teori connectionism adalah: • Terlalu memandang memandang manusia sebagai mekanismus dan otomatisme belaka disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah laku manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat dipengaruhi secara trial and error. Trial and error tidak berlaku mutlak bagi manusia. • Memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respons. Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus menerus. • Karena proses belajar berlangsung secara mekanistis, maka “pengertian” tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan “pengertian” sebagai unsur yang pokok dalam belajar . C. APLIKASI TEORI CONNECTIONISM DALAM PROSES PEMBELAJARAN Thorndike berpendapat, cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang telah diajarkan, tetapi guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respons apa yang diharapkan dan kapan harus memberikan hadiah atau membetulkan respons yang salah. Maka tujuan pendidikan harus dirumuskan dengan jelas. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan harus terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacam-macam situasi. Supaya peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harusbertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks. Dalam belajar, motivasi tidak begitu penting karena perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh eksternal rewards dan bukan oleh intrinsic motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya respons yang benar terhadap stimulus. Bila peserta didik melakukan respons yang salah harus segera diperbaiki, sebelum sempat diulang-ulang. Dengan demikian ulangan yang diatur diperlukan sebagai control bagi guru, untuk mengetahui apakah peserta didik sudah melakukan respons yang benar atau belum terhadap stimulus yang diberikan oleh guru. Supaya guru mempenyai gambaran yang jelas dan tidak keliru terhadap kemajuan anak, ulangan harus dilakukan dengan mengingat hukum kesiapan. Peserta didik yang sudah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan bila belum baik harus segera diperbaiki. Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat sebanyak mungkin sehingga dapat terjadi transfer dari kelas ke lingkungan di luar kelas. Materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah. Dengan diberikannya pelajaran-pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak, tidak akan meningkatkan kemampuan penalarannya . BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Thorndike adalah seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Belajar menurutnya adalah merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus dengan respon. Bentuk belajar yang khas baik pada hewan dan manusia itu olehnya dinamakan sebagai “trial and error learning” atau “Learning by selecting and connecting”. Dalam obyek eksperimennya Thorndike memakai seekor kucing yang di biarkan lapar lalu di masukan ke kandang dan di luar kandang di letakan makanan, sehingga kucing tersebut berusaha keluar dari kandang untuk bisa mendapatkan makanan yang ada di luar kandang. Dalam eksperimennya Thorndike merumuskan tiga hukum dasar dan dan lima hukum tambahan. Menurut Thorndike dalam proses pembelajaran murid harus di lakukan ulangan terus, sehingga kemajuan murid bisa di ketahui dan apabila salah murid itu akan di berikan mengulang untuk bisa memperbaiki keslahan yang di perbuatnya. DAPTAR PUSTAKA • Tim Penulis Buku Psikologi Pendidikan. 1992. Psikologi Pendidikan.Yogyakarta: UPP IKIP Yogyakarta. • Tim Penulis Buku Psikologi Pendidikan. 1997. Psikologi Pendidikan.Yogyakarta: UPP IKIP Yogyakarta. • Drs. M. Ngalim Purwanto, MP.1990. Psikologi Pendidikan.Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. • Suryabrata, Sumadi.1984. Psikologi Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. • Tim Penulis Buku Psikologi Pendidikan. 2007. Psikologi Pendidikan.Yogyakarta: UNY Press. • Sarwono, Sarlito W. 2002,.Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naturalisme, Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Eksistensialisme

HISTORIOAGRAFI EROPA PADA ABAD PERTENGAHAN

PERANAN SYEH JANGKUNG DALAM MENYEBARKAN AGAMA ISLAM DI DAERAH PATI